Berita Golkar – Hanya satu jam paska ditetapkan sebagai tersangka dengan operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel sudah berani dan tak sungkan-sungkan meminta amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
Noel ditetapkan sebagai tersangka pemerasan dalam sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bersama 11 orang yang turut serta melakukan kejahatan tersebut.
Sejurus dengan penetapan status tersangka kepada Ketua Umum Relawan JoMan atau Jokowi Mania tersebut, beberapa aktivis anti-korupsi juga meminta KPK dan PPATK untuk menelusuri aliran dana suap mengalir kemana dan ke siapa saja.
Namun uniknya permintaan amnesti dari Noel dan permintaan penelusuran aliran dana itu disampaikan hampir berurutan. Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menyoroti secara khusus persoalan ini.
Menurut Prof Henry, permintaan “belas kasihan” dari mantan aktivis 98 (yang dikenal sebagai gerakan mahasiswa yang memiliki andil menumbangkan kekuasan rezim Presiden Soeharto) itu seakan-akan menjadi ancaman sangat halus agar Presiden Prabowo terbuka hatinya untuk meluluskan ampunan melalui hak amnesti yang dimiliki Kepala Negara.
“Kesan yang muncul, Noel memanfaatkan informasi aliran dana sebagai “senjata” untuk menekan Prabowo memberikan pengampunan.
Alih-alih mau mendapatkan empati bos-nya di Kabinet Merah Putih dan juga di Gerindra, partai dimana Noel mencari peruntungan nasib. Justru tindakannya ini dianggap konyol, sangat tidak bermoral, bahkan melempar kotoran kepada Presiden yang telah mengangkat harkat dan martabatnya dari yang sebelumnya berseberangan dan menantang, kini diberikan posisi Wamenperin bahkan juga Komisaris Independen di PT Pupuk Indonesia (Persero).
“Manuver Noel minta amnesti bukan sekadar hilangnya rasa malu, tetapi serangan terhadap integritas hukum. Noel mencoba mempermainkan keadilan dengan cara yang tidak bisa ditoleransi dan justru menjadi sebuah penghinaan bagi perjuangan mahasiswa dan rakyat untuk menumpas korupsi di Republik,” tegas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini kepada suarakarya.id di Jakarta, Sabtu (23/8/2025).
KPK diperkirakan akan menjerat Noel dengan pasal berlapis, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, melalui Pasal 5 (gratifikasi), Pasal 11 (penerimaan suap), atau Pasal 12B (pemerasan oleh pejabat negara), yang mengancam pidana penjara hingga 7 tahun dan denda signifikan.
Prof Henry juga mengingatkan jika terbukti ada keterlibatan pihak lain dalam kejahatan Noel, maka Pasal 55 KUHP tentang persekongkolan jahat juga dapat diterapkan untuk menjeratnya dengan hukuman maksimal.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini menyebut PPATK memanfaatkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya Pasal 3 dan Pasal 4.
“Ini untuk melacak aliran dana yang diduga mengalir ke jaringan korupsi lebih luas. KPK dan PPATK harus bergerak cepat dan transparan. Tidak boleh ada celah bagi pelaku untuk lolos dengan trik maupun manuver
politik apa pun,” tandasnya.
Amnesti Tak Berlaku Koruptor
Sementara itu, untuk permintaan amnesti, Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini mengingatkan adanya ancaman celah dalam UU Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Pasal itu, kata Prof Henry memberikan kewenangan Presiden untuk mengampuni tanpa batasan ketat untuk kasus korupsi.
“Undang-undang ini rawan disalahgunakan sebagai pelindung koruptor, bukan alat rekonsiliasi nasional seperti yang seharusnya,” jelasnya.
Untuk itu, Ketua DPP Ormas MKGR ini memberikan masukan agar sebaiknya pembuat Undang-undang, yakni DPR dan pemerintah segera merevisi undang-undang ini dengan menambahkan klausul yang melarang amnesti bagi pelaku tindak pidana korupsi, kecuali dalam konteks kepentingan nasional yang jelas.
Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini, kemudian menjelaskan tentang aturan hukum dan undang-undang. Hukum adalah kompas moral yang mencerminkan kebenaran universal. Sementara undang-undang adalah produk manusia yang sering dipengaruhi kompromi politik.
“Filsuf Posmo Jacques Derrida, dalam Force of Law (1990) menyatakan bahwa hukum bukanlah keadilan. Hukum adalah alat yang bisa digunakan untuk keadilan atau ketidakadilan, tergantung pada tangan yang memegangnya,” ucap Prof Henry meminjam kata-kata bijak filsuf dunia tersebut.
Lebih lanjut, Prof Henry berkata bahwa dalam kasus Noel, hukum menuntut keadilan substantif, tetapi hak amnesti yang dimiliki Kepala Negara secara konstitusional bisa saja “longgar” karena menjadi alat ketidakadilan jika ternyata disalahgunakan.
“Hukum adalah ruh, undang-undang adalah jasad. Jika jasad itu cacat, ruh keadilan akan terluka. Hukum ibarat bintang utara yang menunjukkan arah. Sementara undang-undang adalah peta yang, jika salah, membuat kita tersesat,” beber Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Kasus Noel. ini, menurut Prof Henry, adalah ujian bagi komitmen pemberantasan korupsi.
Advokat yang juga politisi ini mengajak masyarakat sipil untuk mengawal KPK dan PPATK agar tetap independen, bebas dari tekanan politik.
“Korupsi adalah racun bangsa. Jika celah hukum dibiarkan, keadilan hanya akan jadi mimpi. KPK harus bertaring, dan rakyat bisa berperan menjadi penutup celah itu dengan pengawasan ketat bersama media,” pungkas Waketum DPP Bapera sekaligus Ketua LBH DPP Bapera ini.