Daerah  

Nyoman Sugawa Korry: Bali Harus Maju Tapi Adaptif!

Berita GolkarPARA pemangku kebijakan di Bali menerbitkan Haluan Pembangunan Bali Masa Depan, 100 Tahun Bali Era Baru, baru-baru ini. Bagaimana harapan tokoh masyarakat terhadap haluan ini tertuang dalam wawancara Ketua DPD Partai Golkar Bali I Nyoman Sugawa Korry bersama Pemimpin Redaksi Tribun Bali, Komang Agus Ruspawan, di Kantor DPD Partai Golkar Bali, Rabu (30/8). Menurutnya Bali harus maju, tapi adaptif.

Wawancara khusus ini merupakan rangkaian road show para narasumber untuk acara akbar Talk Show Mata Lokal Memilih Series dengan topik: Haluan Pembangunan 100 Tahun Bali ke Depan dan Harapan terhadap Presiden ke-8 RI, yang digelar Tribun Bali di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar, Sabtu (2/9) pagi. Berikut petikannya:

Sekilas kita awali dulu seperti apa perjalanan politik bapak, perjalanan bapak sebagai politikus?

Jadi pada awalnya saya adalah aktivis mahasiswa di kampus. Saya kuliah tahun 1977, kemudian ikut aktif sampai selesai tahun 1982. Setelah itu saya masuk di dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan pemuda, baik di KNPI maupun di organisasi pemuda binaan Golkar. Ya jadi ada AMPI, dan sebagainya.

Kemudian saya menapak dari organisasi KNPI dari Biro, kemudian selanjutnya saya jadi sekretaris, kemudian tahun 1991 saya dipercaya sebagai Ketua KNPI Provinsi Bali. Tapi kalau di AMPI saya sampai pada Wakil Ketua. Kemudian di Golkar saya akhirnya masuk tahun 1992 itu Sebagai Biro Koperasi dan Wiraswasta.

Jadi dari sana waktu itu sebagai Sekretaris KNPI, saya sudah bersepakat dengan Ketua pada saat itu Pak Oka Darmawan, bahwa dia lah yang kalau memang dibutuhkan kader muda sebagai calon DPRD, karena pada waktu itu tahun 1992 pemilu, kita sudah sepakat beliaulah yang akan maju. Jadi karena saya sudah sepakat, maka tahun 1991, saya mendapat kesempatan berangkat ke Jepang. Kemudian di sana saya kurang lebih 4 bulan.

Sekolah apa di Jepang Pak?

Saya sebagai pemuda pelopor tingkat nasional. Kemudian diberi kesempatan melakukan studi banding di sana selama 4 bulan.

Apa ada secara khusus mungkin belajar politik di sana, Pak?

Oh enggak, tapi kita mempelajari juga. Karena ada diskusi-diskusi. Keliling kota kita di Nara, Kota Tokyo, Kyoto dan sebagainya. Nah pulang dari sana, tahu-tahu saya sudah ada ini administrasi untuk pencalonan di Golkar. Padahal waktu itu kita sudah sepakat Pak Oka Darmawan. Tapi Pak Oka Darmawan tidak jadi maju. Sayalah yang didorong maju di Golkar. Golkar untuk DPRD Provinsi.

Masih muda padahal itu?

Umur 34 jadi tahun itu masih nomor urut. Saya dapat nomor urut 30. Kemudian Pemilu 1992, ternyata Golkar mendapat 29.

Berarti bapak tinggal 1?

Tidak nyampe 30. Tapi juga karena saya masih muda, dan itu baru perdana kan, ya saya tidak apa. Saya biasa saja. Tahu-tahu 10 hari menjelang pelantikan dihubungi bahwa akan dilantik. Saya bilang kenapa? Karena ada yang mundur. Ada senior-senior yang mundur. Akhirnya saya ikutlah dilantik.

Kemudian setelah dilantik, saya bertugas di Komisi B, di bidang ekonomi, diangkat sebagai Sekretaris Komisi B. Kemudian setelah sekitar tahun 1994, Wakil Ketua pada saat itu, almarhum Bapak Kolonel Subandi meninggal.

Ketua Komisi B waktu itu Pak Made Mastra namanya, beliau Wakil Ketua di DPD Golkar Provinsi, beliau lah yang diangkat menjadi Wakil ketua oleh pimpinan partai. Berarti Ketua Komisi ini kosong, Komisi B. Tapi ternyata pimpinan partai itu menganggap saya mempunyai kemampuan. Jadi umur itu saya sudah dijadikan Ketua Komisi B.

Kemudian sampai Pemilu 1997, karena sudah berkiprah, nomornya nomor kecil, nomor 9. Kemudian 1997 pemilu, kemudian Golkar saya terpilih, dan ditetapkan sebagai Ketua Komisi C, bidang keuangan. Akhirnya reformasi tahun 1999. Jadi pemilihan baru saya tidak ikut, waktu tahun 1999 itu. Tidak ikut lagi di dalam pencalonan.

Kenapa nggak ikut?

Ya waktu itu saya berpikir situasinya sudah berubah dan kalaupun saya terpilih, tapi rasanya waktu itu akan sulit menyampaikan ide dan gagasan. Daripada kita tidak puas dalam melaksanakan tugas, lebih baik saya waktu itu meminta almarhum Pak Gintaran untuk mewakili Buleleng. Saya resign sampai 2009, 10 tahun. Tetap di Golkar. Sempat saya tidak lagi di pengurus (Golkar) karena saya ikut DPD tahun 2004 Itu kan ketat. Jadi calon DPD itu nggak boleh jadi pengurus.

Berarti Pak Ketua juga Sempat nyalon DPD ya? Keluar dari Golkar juga?

Keluar dari pengurus karena syarat utama Jadi calon anggota DPD itu adalah tidak boleh jadi pengurus. Dan itu dibuktikan secara tertulis. Saya ikut DPD tahun 2004. Saya waktu itu dapat suara nomor 6 kalau nggak salah dari 4 yang terpilih.

Jadi saya dapat sekitar 96 ribu, gagal. Pernah berhasil dengan mudah waktu tahun 1992 itu, kemudian gagal dengan susah payah. Kemudian setelah DPD, kemudian Musda di Golkar Bali, saya direkrut lagi menjadi pengurus, jadi Wakil Ketua 1 tahun 2004 sampai 2009.

2009 Saya ikut di calon di DPRD Provinsi, terpilih sampai dengan sekarang. Jadi tahun 2009 saya walaupun jadi Wakil Ketua 1 waktu itu, saya memang tidak menjabat. Apakah di komisi atau di fraksi. Sehingga, saya pakai kesempatan itu untuk melakukan peningkatan kualitas diri, saya ambil kuliah S3 di Brawijaya. Jadi 2013 Saya selesai.

2014 Pemilu, saya ikut di Provinsi, terpilih dan waktu itu juga akhirnya saya ditetapkan sebagai Wakil Ketua DPRD 2014 sampai 2019, dan Pemilu 2019 juga ditetapkan lagi sebagai Wakil Ketua DPRD sampai dengan sekarang. Musda 2020 kemarin, saya terpilih secara aklamasi Sebagai Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali. Dan astungkara, sekarang juga saya sudah DCS baru ini, Pimpinan Golkar Pusat, DPP Partai Golkar, menempatkan saya, karena saya calon di DPR RI untuk DCS ini, saya nomor urut 1.

Pertimbangan Bapak bertarung di DPR RI?

Saya tidak ingin zona nyaman. Sebagai kader, apalagi sebagai Ketua Partai. Kalau saya hanya memperhatikan zona nyaman, pasti saya memilih tetap Provinsi dapil Buleleng. Tapi menurut saya, itu zona nyaman yang saya hindari. Sebagai Pimpinan Partai, saya harus memberi contoh mengembangkan partai ini.

Golkar saat 2019, itu memperoleh suara 386 ribu, dimana itu terdiri dari salah satunya suara dari Pak Geredeg itu 65 ribu, kemudian suara dari Pak Made Wijaya sekitar 45 ribu, kemudian Pak Sudikerta sekitar 40 ribu. Sehingga ada sekitar 150 ribu suara yang kemungkinan hilang karena beliau kan tidak nyalon lagi. Kedua, kalau saya tetap di Buleleng, motivasi teman di bawah saya ini akan lemah.

Tapi kan dengan Bertarung di DPR RI otomatis kan tantangnya lebih besar?

Iya lebih besar bahkan bukan hanya dengan kader partai lain, tapi di internal sendiri. Tapi Di sinilah letak tantangannya. Dan saya senang itu. Saya senang menikmati itu. Artinya akan ada batin yang terisi di dalam perjalanan politik.

Kira-kira seperti apa ini Pak untuk tahun 2024 nanti persaingannya?

Politik itu dinamis ya. Banyak hal yang faktor mempengaruhi eksistensi masing-masing partai. Kalau saya meyakini bahwa paling tidak dua itu bisa terjaga. Syukur kalau dinamisasi perkembangan politik itu berpihak kepada kami, itu bisa kita tiga. Petarung itu kita tidak hanya memperhatikan lawan di luar, di dalam, tapi juga kepada semua hal termasuk perkembangan lingkungan strategis. Di sana letak seninya. Seni politik.

Untuk bisa mencapai target ini, kira-kira apa yang Bapak suarakan untuk masyarakat?

Politik itu kan sama dengan ilmu marketing ya. Jadi kalau ilmu marketing itu ada marketing atas barang dan jasa, atau marketing politik. Esensinya apa? Esensinya marketing itu adalah bagaimana kita memperkenalkan kita atau kalau dalam usaha barang dan jasa kita, agar orang itu tertarik kemudian mau membeli. Atau dalam politik dan mau memilih. Kan di sana saja letak seninya, seni dan ilmunya.

Pemprov Bali dan DPRD Bali sudah menetapkan Perda haluan pembangunan 100 tahun ke depan. Kira-kira menurut Pak Ketua, bagaimana dengan lahirnya Perda ini?

Dari sekian halaman Perda itu, saya membahasakan dalam beberapa kalimat. Bali ke depan ini harus maju, harus berkembang, masyarakat sejahtera, adaptif, tetapi dia tidak boleh melepaskan dirinya atau meninggalkan kearifan lokal.

Haluan pembangunan ini menjadi pedoman bagi para pemimpin?

Secara umum bisa menjadi pedoman. Tapi yang paling penting itu adaptif. Artinya yang abadi itu kan perubahan. Perubahan itu yang kita harus adaptif. Kita kan belum tahu perkembangan lingkungan ke depan. Tapi kalau perkembangan lingkungan menuntun adanya penyesuaian, kita harus berani melakukan itu. Ini haluan untuk melihat ke depan seperti ini. Sebagai pegangan awal silakan. Tapi harus kita lihat. Ini kan harus ada komunikasi. Proses pembahasan.

Sebagai politisi senior, harapan terhadap Perda ini seperti apa?

Sudah saya tekankan, tulang punggung kekuatan ekonomi Bali itu adalah UMKM. Indikatornya adalah ketika krisis ekonomi tahun 1998-1999, Bali relatif ekonominya lebih lentur karena Bali ditopang oleh UMKM. Kita mempunyai karakteristik seperti itu. Kita tidak punya usaha besar di sini. UMKM itu yang harus kita jaga dan kita kembangkan.

Nanti kan ada juga terkait Presiden ke-8. Sebagai Ketua Golkar Bali, berharapnya seperti apa?

Presiden yang bisa mengayomi seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Tidak hanya berdiri pada kepentingan satu kelompok. Kedua, presiden yang memang mampu dan siap mengabdi untuk bangsa ini dalam jangka panjang, bukan dalam masa jabatan saja. Karena kalau dalam masa jabatan saja, kaitannya hanya pencitraan saja atau kebijakan yang bersifat populis yang pada akhirnya hal-hal yang jangka panjang harus dilakukan itu diabaikan.

Contohnya Jokowi membangun IKN itu jangka panjang?

Iya jangka panjang. Infrastruktur jangka panjang. Sekarang kita lihat DKI itu, kualitas udaranya sudah jadi sorotan. Apalagi nanti 10 tahun ke depan. Secara internasional, banyak negara melakukan hal yang sama. Membuat ibu kota negara yang sifatnya untuk pemerintahan.

Apakah Golkar Bali sudah bulat mendukung Prabowo?

Iya, ini kan perintah DPP. Saya kemarin mendapat surat dari DPP agar mensosialisasikan Prabowo. Saya dididik untuk loyal kepada organisasi. {sbr}