DPP  

Pakar Pertahanan Dina Hidayana Ingatkan Bencana Ekstrim 2030: Produktivitas Pangan Turun Berujung Instabilitas Nasional

Berita GolkarPakar Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana mengingatkan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk tidak lagi menunda prioritas pada hal fundamental, yakni sektor pangan. Ditegaskan Dina, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu segera berkonsentrasi penuh dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan sedari awal.

“Hal tersebut tidak bisa sekedar dijadikan retorika, mengingat pangan yang dikonsumsi manusia, tidak seluruhnya ada tersedia gratis di alam, sebagian besarnya harus diproduksi atau dibudidaya dan itu memerlukan waktu yang tidak singkat, sementara jumlah manusia terus bertambah secara eksponensial,” ujar Dina dalam keterangannya usai memimpin Rapat Pleno Pengurus Ikatan Alumni Pertanian (IKATANI) 5 Mei lalu secara online.

Dina mengungkapkan, ketersediaan bahan baku pangan, baik itu unsur hewani maupun nabati tidak bisa tersedia instan. Beberapa jenis ikan air tawar misalnya membutuhkan kisaran waktu 2-9 bulan untuk budidaya, ayam kampung bisa sampai 3 bulan, padi minimal 2 bulan, kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe berusia 2-3 bulan, seluruhnya memerlukan proses dan waktu,

Lebih lanjut, Dina Hidayana menegaskan mengenai pentingnya memiliki sistem manajemen yang sistematis dan komprehensif dalam mengatasi gurita problematika pangan Indonesia, baik dalam kondisi damai maupun untuk cadangan dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian global.

“Persoalan ketersediaan, kontinuitas, kualitas dan daya beli masyarakat terhadap pangan perlu skema yang terkonsep secara integral, tidak bisa parsial. Inilah salah satu fungsi Presiden nantinya dalam mengharmonisasikan lintas sektor sehingga seluruh kementerian/lembaga bergerak untuk tujuan yang sejalan,” papar politisi muda Partai Golkar.

Alumni Doktoral Universitas Pertahanan RI ini menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) dalam memprediksi beberapa skema keterkaitan lintas sektor dan subsektor. Diketahui ada tren negatif yang perlu diwaspadai, yakni potensi bahaya 32 tahunan.

Hasil proyeksi simulasi pesimistik pada tahun 2030 dengan penurunan produksi pangan sejumlah 10% saja berpotensi meningkatkan inflasi hingga 170% dari base scenario. Sebaliknya, peningkatan produksi pangan sejumlah 10% justru menurunkan inflasi sebanyak lima kali lipat dari base scenario.

“Artinya kita perlu mewaspadai penurunan produktivitas pangan, karena signifikan terhadap tingginya laju inflasi yang berujung pada instabilitas nasional,” urai Dina Hidayana.

Dengan metode tersebut, Dina juga mengingatkan mengenai fenomena masa Orde Lama di tahun 1966 diawali dengan guncangan ekonomi dahsyat, yang diiringi bencana kelaparan, kematian massal dan hutang negara yang fantastis dengan hiperinflasi mencapai 650%, sehingga mengakibatkan berakhirnya Rezim Presiden Soekarno.

Kejadian serupa juga terjadi pada penghujung masa Orde Baru di tahun 1998, harga pangan tak terkendali akibat akumulasi pergeseran industri pangan ke ekstraktif dan ketergantungan pada importasi pangan pokok yang terus meningkat hingga puncaknya inflasi lebih dari 70% serta merta meniadakan Rezim Soeharto sekalipun telah berkuasa 32 tahun.

“Dengan pola sejenis, diprediksi tahun 2030 akan terjadi bencana ekstrim serupa, apabila tidak segera dilakukan upaya mitigasi sejak sekarang,” ungkap Ketua Umum IKATANI UNS ini.

Karenanya Dina Hidayana yang juga Ketua Depinas SOKSI mendorong Pemerintah untuk memulai aksi revolusi kebijakan sektor pangan dan pertanian secara konkrit dan fundamental dimulai dari reformulasi konsepsi yang terintegrasi antar aktor dan wilayah hingga keberpihakan anggaran terhadap sektor pangan dan pertanian yang terpadu lintas kementerian/lembaga, termasuk pengalihan subsidi ke pasca panen.

Berkali-kali Dina menyoal pentingnya keberpihakan negara dalam melihat sektor pangan dan pertanian sebagai first and elementary priority policy untuk memastikan negara tidak boleh lagi abai ataupun masih bertahan dengan paradigma lama yang melihat persoalan pangan cukup diatasi dengan bantuan sosial, operasi pasar, importasi atau hal-hal yang bersifat temporer dan tidak mengatasi akar persoalan riil di masyarakat.

“Salah satu inspirasi pentingnya menitikberatkan pada penguatan sektor pangan telah dibuktikan di masa-masa awal Presiden Soeharto melalui program Repelita yang berhasil menurunkan hiperinflasi 650% hingga ke angka 8,88% di tahun 1971 karena serius menggarap sektor pangan dan pertanian, bahkan profesi petani masa itu bukan saja dipandang mulia namun sangat sejahtera,” tegas perempuan cantik asal Solo ini.

Meskipun demikian, Dina mencontohkan salah satu pembelajaran berharga di penghujung masa orde baru, yakni akibat meninggalkan keberpihakan terhadap sektor pangan, maka stabilitas bangsa terguncang dan berakhir dengan jatuhnya pemerintahan yang sah.

“Begitu pula di penghujung masa orde lama, yang lebih menitikberatkan pada proyek-proyek mercusuar dan pembelian peralatan perang modern dalam kurun waktu singkat yang menggerus anggaran negara dan menambah berat beban pinjaman luar negeri, sehingga mayoritas rakyat kelaparan karena pemerintah tak lagi memiliki uang untuk membayar bahan pangan impor akibat hutang yang sudah melampaui batas,” ujarnya lagi.

“Bahkan Socrates, seorang filsuf Yunani beberapa abad lampau mengajarkan salah satu prinsip penting dalam bernegara adalah seseorang disebutkan tidak berhak mengaku negarawan apabila luput dalam urusan pangan (warganya),” pungkas Dina Hidayana. {redaksi}