Berita Golkar – Indonesia berdiri di persimpangan kritis dalam mewujudkan ambisi hilirisasi. Sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diamanahkan dalam pesan filosofisnya adalah kekayaan alam Indonesia harus menjadi pendorong kemakmuran rakyat, bukan cuma bahan murah untuk pasar asing.
Namun, kenyataan berbicara lain, tempurung kelapa, kayu mentah, dan hasil pertanian lainnya mengalir keluar tanpa diolah, membuat industri dalam negeri tersendat bahkan “mati kutu” akibat tidak ada bahan baku yang bisa diolah menjadi produk jadi.
Penasihat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar Prof Dr Henry Indraguna, SH, MH menyoroti data Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2023.
Berdasarkan data tersebut, Indonesia telah mengekspor 2,5 juta ton produk kelapa mentah, termasuk tempurung. Sementara pabrik briket lokal hanya beroperasi di bawah 60% dari kapasitas terpasang akibat kekurangan bahan baku.
“Ini paradoks, kita ekspor kekayaan alam. Tetapi industri kita justru terkapar,” ungkap Prof Henry kepada suarakarya.id usai menjadi narasumber dalam podcast Bring in Talks Balitbang di Jakarta.
Prof Henry menyebutkan dampak tersebut terasa nyata dialami manufaktur Indonesia. Pabrik pengolahan kakao hingga mebel terhambat, investasi mandek, dan nilai tambah ekonomi lenyap.
Laporan Bank Dunia 2024 memperkirakan kerugian 10 miliar dolar AS per tahun akibat ekspor bahan mentah. Wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang seharusnya bisa bangkit lewat pengolahan lokal tetap saja terpuruk.
Prof. Henry menegaskan, tanpa aturan tegas, kementerian teknis tak mampu menghentikan arus ekspor, terutama untuk komoditas non-tambang.
“Dari audit BPK 2024 saja sudah welo-welo (kasat mata-red) mengungkap 40% eksportir tak memenuhi syarat pengolahan, namun bebas sanksi,” beber Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini.
Untuk itu, kata Prof Henry, dengan mandat legislasi dan pengawasan dari Pasal 20 dan 20A UUD 1945, DPR RI harus bergerak cepat. “Jangan sampai kekayaan kita memperkaya pabrik asing tapi pekerja kita menganggur,” tegas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini.
RUU Hilirisasi Nasional
Dari munculnya carut marut ekspor bahan mentah ini, Prof Henry menyarankan DPR RI harus respon cepat untuk menginisiasi RUU Hilirisasi Nasional untuk mewajibkan pengolahan bahan strategis di dalam negeri dan melarang ekspor tanpa proses minimal.
“Revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Perdagangan/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja juga krusial dilakukan oleh Parlemen Berikan Kementerian Perdagangan wewenang untuk menetapkan komoditas seperti rotan atau tempurung kelapa yang wajib diolah dulu,” jelas Ketua DPP Ormas MKGR ini.
Selain itu, kata Prof Henry, pemberian insentif untuk industri hilir di wilayah 3T juga akan jadi katalis pertumbuhan. Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini juga mewanti-wanti kepada Parlemen agar pengawasan melekat juga tak boleh kendor dalam pelaksanaan Undang-Undang dan aturan turunannya.
Prof Henry meminta Komisi VI dan VII DPR RI perlu memanggil Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan ESDM untuk meneliti data ekspor dan memastikan kepatuhan pada regulasi. “Peraturan menteri yang tegas harus segera diterbitkan,” tandas Politisi Beringin asal Jateng ini.
Dari sisi anggaran, imbuh Prof Henry, DPR bisa mendorong Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membangun pabrik briket atau pengolahan rotan berbasis desa. Misalnya koperasi di Kalimantan bisa mengolah rotan jadi mebel bernilai tinggi sekaligus menciptakan lapangan kerja lokal.
Prof Henry kembali menekankan hilirisasi harus menjadi tulang punggung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Targetnya tentu saja mengurangi ekspor bahan mentah 20% pada 2027, menaikkan ekspor barang jadi 30%, dan menciptakan 500.000 pekerjaan baru di sektor hilir hingga 2030. “Ini sejatinya adalah soal kedaulatan, bukan cuma ekonomi semata,” terang Waketum DPP Bapera sekaligus Ketua LBH DPP Bapera.
Prof Henry menegaskan tanpa undang-undang baru, pengawasan ketat, dan dana terarah, hilirisasi hanya akan menjadi angan-angan.
“DPR RI sebagai wakil rakyat, memiliki kuasa mewujudkan amanat konstitusi, memastikan kekayaan alam Indonesia tak lagi jadi keuntungan asing, melainkan bahan bakar kemakmuran rakyatnya sendiri,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.