Berita Golkar – Partai Golkar dinilai perlu menjadikan Pilkada Serentak 2024 untuk menjaring tokoh kharismatik untuk kepemimpinan nasional di Pilpres 2019 nanti. Kesuksesan Partai Golkar di Pileg 2024 membuka peluang untuk menjuarai pemilu selanjutnya, termasuk memenangi Pilpres mendatang.
“Penting bagi Golkar segera menemukan sosok kharismatik yang dipersiapkan secara khusus menyongsong Pilpres 2029. Pilkada yang berlangsung pada November nanti, bisa menjadi salah satu alat penyaringan. Apalagi, tren kepemimpinan nasional sedang mengarah kepada sosok yang memiliki rekam jejak politik sebagai kepala daerah, setidaknya dalam tiga pemilu terakhir yang mayoritas kandidat adalah mantan kepala daerah,” ujar Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG), Arief Budiman, Senin (6/5/2024).
Arief menilai peningkatan suara Golkar yang mencapai 5,9 juta suara menunjukkan tren ke arah positif. Menurut dia, suara partai berlambang beringin hampir mendekati raihannya ketika memenangi Pemilu 2004. Saat itu, Golkar meraih 24.480.757 suara yang berhasil dikonversi menjadi 127 kursi di DPR.
“Pencapaian tersebut, di sisi lain menunjukkan ketangguhan institusi Golkar sebagai partai. Mereka tak goyah meskipun sepanjang era reformasi berbagai upaya demoralisasi dan deinstitusionalisasi dilakukan pelbagai pihak terhadap Golkar,” tandas Arief.
Dia mencontohkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid berencana membubarkan Golkar melalui dekritnya. Lalu, perlawanan kencang kelompok pro-reformasi di akar rumput yang melabeli Golkar sebagai partai Orde Baru.
“Bukan berarti tidak ada dampak politik terhadap Golkar. Terbukti suara mereka menurun. Namun, bagaimana pun, Golkar tetap bisa selalu finish di tiga besar,” kata Arief.
Resiliensi Golkar, kata Arief, dipengaruhi kemapanan institusinya yang membuat mereka mampu beradaptasi dengan era reformasi. Hal ini pula yang kemudian menjadi jalan kesuksesannya di Pileg 2024.
Arief menyebut strategi Golkar di Pileg 2024 sebagai politik kredit-debit. Bahwa dengan modal genetik kemapanan institusional, Golkar mengalkulasi setiap langkahnya dengan cermat untuk mengonversi setiap cost yang selama ini dianggap sebagai liabilitas menjadi keuntungan politik.
Strategi politik kredit-debit membuat Golkar lebih luwes melangkah di Pemilu. Mereka tak ragu mengambil risiko atau ongkos politik, selama dalam perhitungannya akan mendatangkan keuntungan lebih besar.
“Golkar berani tetap menjaga dan memupuk faksionalisme di internalnya di tengah risiko perpecahan tak berkesudahan yang bisa memporak-porandakan organisasi. Lalu, Golkar membuka diri kepada caleg-caleg terafiliasi dinasti politik di tengah sentimen negatif terhadap praktik politik dinasti, yang sekaligus sebetulnya berpeluang mengingatkan publik pada sejarahnya sebagai parpol Orde Baru,” jelas Arief.
Arief pun menilai Partai Golkar berpotensi besar memenangkan Pileg dan Pilpres 2029. Hanya saja, kata dia, Golkar perlu memanfaatkan Pilkada 2024 untuk menjaring tokoh kharismatik yang bakal bertarung di Pilpres 2029
Selain itu, kata Arief, Golkar perlu kembali menjaring sosok dari kalangan teknokrat yang pernah menjadi nilai jualnya di masa lalu. Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai kembali pula mengarah ke pembangunan fisik dan industri, bukan seperti awal era reformasi yang cenderung ke arah pembangunan politik.
“Tantangan tersebut bisa jadi sangat berat bagi Golkar. Setidaknya bila melihat sosok politikus kaliber nasional mereka yang bercokol hari ini mayoritas adalah dari kalangan aktivis, bila tidak terkait trah dinasti,” kata Arief.
Sementara itu, menurut Arief, masuknya sosok baru untuk didorong ke arah kepemimpinan nasional sangat mungkin mendapat resistensi dari faksi-faksi yang kini telah bercokol di dalam tubuh Golkar.
“Resistensi terhadap sosok BJ Habibie di masa lalu, barangkali tepat sebagai contoh nyata akan kemungkinan tersebut. Namun sekali lagi, Golkar memang mau tak mau harus mencari Habibie baru walau harus sampai ke dasar tumpukan jerami bila ingin menang absolut di pemilu mendatang,” pungkas Arief. {sumber}