Berita Golkar – Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) Satriyo Yudi Wahono atau juga dikenal publik sebagai Piyu gitaris band Padi Reborn menemui Fraksi Partai Golkar DPR RI untuk membahas sistem tata kelola royalti musik.
Piyu menyampaikan perlunya revisi Undang-Undang Hak Cipta agar perlindungan hukum bagi pencipta musik lebih nyata. Dia menekankan bahwa royalti konser seharusnya dibayarkan sebelum acara dimulai.
“Tanpa lagu, tidak ada konser. Royalti bukan sekadar beban promotor, tapi tanggung jawab bersama artis, manajemen, dan penyelenggara untuk memastikan hak ekonomi pencipta terpenuhi,” ujar Piyu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025), dikutip dari Kompas.
Piyu lantas menawarkan skema sistem hibrida atau hybrid dalam royalti musik.
Skema yang ditawarkan Piyu
Skema yang ditawarkan oleh sarjana ekonomi Universitas Airlangga tersebut merupakan kombinasi lisensi untuk media penyiaran, seperti kafe hingga hotel, dengan lisensi konser. Piyu berpendapat, pola ini sudah lazim diterapkan secara internasional, sekaligus lebih adil bagi pencipta musik.
Piyu menilai, skema 2 persen dari penjualan tiket selama ini tidak efektif. Walhasil, pihaknya mengusulkan alternatif, yakni 10 persen dari honorarium artis atau 2 persen dari median harga tiket dikalikan kapasitas venue.
Sementara itu, untuk acara non-tiket seperti pernikahan, opsi tarif yang diusulkan adalah 10 persen dari honorarium artis atau band.
Tidak hanya soal tarif, Piyu juga menekankan pentingnya aturan jelas terkait hak moral pencipta, digitalisasi sistem penarikan royalti berbasis langganan, serta pengawasan terhadap pembajakan digital dan penggunaan kecerdasan buatan.
“Negara wajib memberi perlindungan nyata, bukan sekadar retorika. Kreativitas harus berjalan seiring kepastian hukum,” tegasnya.
Kata Golkar
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Sarmuji pun sepakat bahwa sistem royalti lagu di Indonesia perlu segera diperbaiki agar lebih transparan, berkeadilan, dan mudah diakses. Sarmuji mengeklaim Golkar berkomitmen mengawal aspirasi para pencipta lagu. Sebab, kata dia, jangan sampai tata kelola royalti malah berbelit-belit, sehingga merugikan pencipta.
“Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” kata Sarmuji.
“Pada prinsipnya kami mendukung apa yang menjadi aspirasi atau tuntutan para pencipta lagu. Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha,” sambungnya.
Sementara itu, Sarmuji juga menekankan betapa pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.
“Kami ingin agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Justru sistem yang sederhana dan jelas akan membuat mereka lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya,” imbuh Sarmuji.
Dalam pertemuan tersebut, turut hadir Wakil Ketua Komisi XIII DPR Dewi Asmara, Wakil Ketua Komisi III Sari Yuliati, hingga anggota Komisi VII DPR Fraksi Golkar Ilham Permana. {}