DPP, SOKSI  

Political Gastronomy vs Makan Siang Gratis, Dina Hidayana: Perlu Intervensi Pemerintah Guna Mencetak Generasi Sehat dan Berbudaya

Berita GolkarPengamat Pertahanan dan Pangan, Dina Hidayana melihat program makan siang gratis yang digagas oleh pemenang Pilpres 2024 merupakan upaya mengkongkritkan kehadiran negara dalam mencetak jiwa raga generasi masa depan Indonesia yang kokoh.

Diketahui sebelumnya, bahwa Komisi Pemilihan umum (KPU), dalam sidang pleno (24/04) yang lalu telah menetapkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran dengan perolehan suara lebih dari 96 juta jiwa atau hampir mendekati 59% dari total pemilih.

Dina Hidayana lantas mengapresiasi keterpilihan Prabowo-Gibran, termasuk program makan siang gratis yang diusung oleh pasangan nomor urut 2 ini. Menurut Dina Hidayana, dewasa ini berdasarkan data Global Hunger Index (GHI) di tahun 2022, Indonesia masih dalam kategori kelaparan moderat.

“Indonesia berada di rangking 77 dari 121 negara yang diteliti, bahkan lebih buruk dari Negara Laos. Indonesia belum masuk pada fase kelaparan rendah. Artinya kemiskinan, stunting, tingkat gizi, penyakit, kecerdasan, produktivitas dll masih menjadi polemik yang menggurita,” dikatakan Dina Hidayana kepada redaksi Golkarpedia pada Sabtu (27/04).

Menurut Dina Hidayana, keinginan memberikan stimulus gizi berupa makan siang gratis bagi pelajar Indonesia, merupakan program strategis yang perlu dilengkapi dengan perbaikan tata kelola terintegrasi hulu ke hilir.

Program makan siang gratis ini juga bisa menjadi momentum pembenahan sektor pertanian dalam makna luas, guna memastikan bahan baku makan siang dapat bertumpu pada kemampuan pertanian lokal, sekaligus membudayakan kembali selera pangan lokal (Political Gastronomy) dalam variasi menunya.

Beberapa penelitian terbaru yang mengkaji tentang preferensi generasi kekinian terhadap makanan dipaparkan politisi muda Partai Golkar ini telah menunjukkan signifikansi pergeseran dari selera tradisional ke modern. Misalnya makanan impor lebih diminati dibandingkan jenis lokal karena alasan persepsi, trend perilaku, faktor sosial kultural pergaulan dan kurangnya internalisasi atau sosialisasi panganan lokal pada generasi muda.

Lebih lanjut Dina memprediksi bagaimana jika kaum muda lebih menyenangi penganan asing dengan meminggirkan makanan khas tradisional Indonesia, maka kearifan lokal, terkhusus dalam hal pangan, dipastikan cepat atau lambat budaya pangan kita semakin hilang dari Bumi Pertiwi.

“Lebih jauh, kedaulatan dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia akan sekedar menjadi catatan sejarah. Akulturasi maupun internalisasi produk ataupun budaya asing jangan sampai menghilangkan keIndonesiaan kita,” ditegaskan Ketua Depinas SOKSI, Dina Hidayana.

Dina Hidayana mencontohkan, ironi propaganda untuk menghilangkan budaya makan nasi dari menu sehat bangsa Indonesia merupakan kesalahkaprahan yang tidak boleh diteruskan. Diketahui secara turun temurun sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara, Indonesia telah dikenal sebagai negara agraris dengan budidaya Padi sebagai sektor andalan.

Beras yang menjadi produk tanaman Padi dapat dilihat bukan sebagai komoditi belaka namun menjadi bagian penting dari nilai-nilai kultural dan agregasi bangsa yang berjiwa gotong royong.

“Budidaya padi secara menyeluruh dengan tradisi-tradisinya, mulai dari penanaman hingga pasca panen masih perlu dipandang sebagai warisan budaya dan kearifan lokal. Selain itu hal tersebut merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur nenek moyang yang bernilai historis-kultural yang perlu diwariskan pada generasi masa kini dan mendatang,” tutur Dosen Tetap STIA Madani Klaten ini.

Dina menyarankan pemanfaatan Political Gastronomy dengan mensosialisasikan kembali panganan lokal yang ramah di lidah dan menarik selera anak muda masa kini, untuk dijadikan landasan dalam penerapan program makan siang gratis oleh Pemerintah yang baru nantinya.

“Generasi kekinian, terkhusus Pelajar Indonesia, akan dipertontonkan secara konkrit kehadiran negara dalam mengurus hak fundamental warganya. Program makan siang vs political gastronomy diyakini akan memantik masifnya budidaya pertanian yang berkarakteristik lokal, tingkat gizi masyarakat yang dapat dikontrol, meminimalisir importasi pangan serta sekaligus menjaga nilai-nilai tradisional sebagai bagian penting dari jati diri bangsa Indonesia,” sambung Ketua Umum IKATANI UNS ini.

Untuk itu, Dina Hidayana mengemukakan bahwa Program pemerintah apapun harus sejalan dengan optimalisasi kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki, dengan meminimalisir importasi yang telah menggurita dan membelenggu kedigdayaan bangsa ini. Termasuk dalam hal ini program makan siang gratis Prabowo-Gibran.

“Dengan demikian, maka seluruh kinerja pemerintah akan berujung pada Indonesia yang berdaulat, kokoh jiwa raga masyarakat dengan terciptanya generasi unggul yang berbudaya guna menyongsong visi Indonesia Emas 2045,” pungkas Dina Hidayana. {redaksi}