Berita Golkar – Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Ranny Fahd Arafiq menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tuberkulosis (TBC) yang hingga kini masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
Ia menegaskan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan, Indonesia masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengakhiri epidemi TBC pada 2030.
“Tuberkulosis masih menjadi beban kesehatan nasional. Meskipun kita telah mencatat kemajuan dalam pengelolaan TBC, target WHO untuk menurunkan angka kejadian menjadi kurang dari 55 kasus per 100.000 penduduk pada 2025 masih sulit dicapai. Kita perlu memperkuat kerja lintas sektor, meningkatkan deteksi dini dan memastikan pengobatan yang terjangkau dan efektif,” kata Ranny dalam keterangannya, Selasa (3/6/2025), dikutip dari RMOLJabar.
Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2020, Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC, dengan estimasi 301 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2020.
Ranny menyoroti dampak pandemi COVID-19 yang memperburuk penanggulangan TBC dibeberapa wilayah, seperti Jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua, melaporkan angka kejadian di atas 250 kasus per 100.000 penduduk. Meski tingkat keberhasilan pengobatan mengalami peningkatan dari 84,60 persen pada 2017 menjadi 86,51 persen pada 2019, angka kematian tetap stagnan di kisaran 3,05–3,15 persen
“Program pengendalian terganggu, terutama di daerah dengan sistem kesehatan yang lemah. Misalnya, di Mimika, Papua, terjadi penurunan deteksi kasus dan efektivitas pengobatan,” jelasnya.
Strategi Penanggulangan: Dari Teknologi hingga Peran Komunitas
Sebagai respons, Ranny menggarisbawahi pentingnya pendekatan komprehensif dalam penanganan TBC, termasuk mendukung kampanye nasional Temukan, Obati, Sembuhkan TBC. TOSS TBC.
Ia mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan yang menunjukkan komitmen politik tinggi, salah satunya dengan menjadi co-chair dalam pertemuan WHO Asia Tenggara tahun 2022, lalu. Namun, menurut Ranny, langkah itu harus diikuti dengan intensifikasi upaya di tiga sektor utama:
1. Optimalisasi Diagnosis dan Pengobatan: Mendorong penggunaan teknologi deteksi seperti Xpert testing, dan menjamin akses pengobatan dengan biaya langsung per kasus yang stabil di kisaran US$39,40–$40,40.
2. Peningkatan Kapasitas Sistem Kesehatan: Termasuk pelatihan tenaga kesehatan, desentralisasi layanan TBC, dan penguatan peran apoteker rumah sakit dalam tim multidisiplin.
3. Peningkatan Kesadaran Publik: Melalui kampanye seperti Gerakan Desa Siaga TBC yang diluncurkan pada Mei 2025 untuk memberdayakan komunitas dalam pencegahan penularan TBC.
Kolaborasi untuk Indonesia Bebas TBC
Ranny berharap ada kerja sama yang lebih erat antar pemangku kepentingan.
“Kita tidak boleh membiarkan satu warga pun kehilangan nyawa atau masa depan karena TBC. Ini bukan hanya isu kesehatan, tapi juga tantangan sosial dan ekonomi. Perlu sinergi nyata dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat,” tegasnya. {}