Ravindra Airlangga Desak Reformasi SMK: Jangan Lepas Tangan Terhadap Lulusan

Berita GolkarAnggota Komisi IX DPR RI, Ravindra Airlangga, menyoroti persoalan tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda Indonesia, terutama dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ia menilai salah satu akar persoalan terletak pada lemahnya tanggung jawab lembaga pendidikan vokasi dalam memastikan keterhubungan antara pendidikan dengan kebutuhan dunia industri.

“Kalau pendapat saya, banyak program vokasi yang memang sudah link and match dengan industri. Contohnya kalau kita lihat di Apple Academy itu 80% dari lulusan mereka setelah mengikuti 10 bulan course itu diserap langsung di industri web development UI/UX design,” ujar Ravindra diwawancarai redaksi Golkarpedia saat menghadiri acara diskusi publik DPP Partai Golkar ‘Quo Vadis Pemilu Indonesia?’ pada Kamis (24/07).

Pernyataan tersebut dilontarkan di tengah keprihatinan terhadap tingginya tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Berdasarkan data Booklet Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Februari 2025, angka pengangguran penduduk berusia 15–24 tahun mencapai 16,16%, atau setara dengan sekitar 3,6 juta orang. Jumlah ini mencerminkan hampir setengah dari total pengangguran nasional yang mencapai 7,26 juta orang per Februari 2025.

Dari jumlah itu, sebanyak 48,77% penganggur merupakan anak muda. Jika dilihat dari komposisi pendidikan, umur muda (15-24 tahun) didominasi oleh orang dengan pendidikan tertinggi SMA/sederajat, yakni mencapai 60.93%. Sedangkan anak muda dengan sarjana/diploma (atau lebih tinggi) hanya mencapai 8,78% dari total penduduk muda.

Menanggapi data tersebut, Ravindra secara khusus menyoroti kondisi lulusan SMK yang justru menjadi kelompok dengan tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya.

“Nah kalau kita lihat sekarang SMK kita, tingkat pengangguran lulusan SMK tertinggi. Padahal mereka seharusnya yang paling siap kerja. Kalau kita bandingkan dengan Jepang, kita bandingkan dengan Jerman lulusan sekolah vokasi di sana tingkat penyerapan tenaga kerjanya tertinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Ravindra menegaskan pentingnya tanggung jawab sekolah vokasi, khususnya SMK, dalam merancang kurikulum berdasarkan kebutuhan dunia kerja. Ia mendorong agar orientasi pendidikan vokasi bukan hanya pada lulusnya siswa, tetapi juga pada keberhasilan mereka masuk dunia kerja.

“Jadi menurut saya yang paling penting adalah SMK itu harus memiliki tanggung jawab untuk membantu kemana lulusannya akan diberdayakan, jadi link and match itu harus ditetapkan dulu oleh SMK. Kemudian baru mereka membuat program skilling yang sesuai,” tegasnya.

Ravindra juga menambahkan bahwa sudah ada komunikasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait hal ini. Ia menyebut Kemenaker mendukung gagasan bahwa desain pendidikan vokasi seharusnya diawali dari penetapan tujuan penempatan kerja, bukan sekadar penguasaan keterampilan umum.

“Jadi harus ada tanggung jawab dari SMK juga, selama ini saya bicara dengan Kemenaker dan mereka setuju dengan saran ini, bahwa sekolah vokasi harus punya tujuan yang sudah pasti baru mereka membuat kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, bukan malah sebaliknya,” tutup politisi muda tersebut.

Dengan dominasi pendidikan terakhir SMA/SMK di kalangan anak muda yang menganggur, pernyataan Ravindra menjadi pengingat pentingnya reformasi dalam pendidikan vokasi nasional. Penyedia Pelatihan diharapkan tidak hanya mengejar kuantitas lulusan, tetapi menjamin keberlanjutan hidup lulusan melalui keterhubungan nyata dengan dunia kerja.