Berita Golkar – Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI, Ridwan Hisjam mempertanyakan kembali komitmen pemerintah untuk segera merampungkan revisi Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Hisjam menilai revisi UU Migas ini penting untuk diselesaikan agar bisa memperkuat peran K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak) dalam membantu mencapai target 1 juta barel per hari lifting minyak pada tahun 2030, yang selama ini masih belum bisa terpenuhi.
“UU Migas ini sudah ada sejak tahun 2001. 23 tahun itu sudah harus kita evaluasi. Tapi sampai hari ini kami di DPR sudah siap. Nah tapi rupanya masih ada tarik menarik di pemerintah belum ada satu kata. Ini dibutuhkan kalau tidak ada perubahan, tidak akan mungkin bisa tercapai 1 juta (target lifting) itu karena terlalu banyak aturan-aturan yang membelenggu para kontraktor-kontraktor tingkat K3S ini,” jelas Ridwan Hisjam kepada Parlementaria usai memimpin pertemuan Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI dengan SKK Migas di Surabaya, Jawa Timur, Rabu, (7/2/2024).
Hisjam menambahkan bahwa revisi UU Migas ini juga menjelaskan bahwa posisi K3S Migas masih terhambat dengan keberadaan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi).
“KKKS dari luar yang seperti perusahaan asing mereka juga mau mau masuk, tapi masih terkendala. Nah terkendala terus juga terkendala dengan posisi SKK Migas. SKK Migas ini harus badan usaha juga, karena kalau dia regulator terus dia koordinator, terus post recovery tetap harus recover dari dari Kementerian Keuangan,” jelas Hisjam.
Hisjam menjelaskan bahwa dalam pembahasan revisi Undang-Undang Migas, Komisi VII DPR RI berencana untuk menghapuskan SKK Migas yang merupakan badan usaha sementara setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) pada 2012 lalu. Serta membentuk suatu lembaga baru bernama Badan Usaha Khusus (BUK) Migas sebagai pemegang kuasa hulu migas. {sumber}