Ridwan Hisjam Usulkan Masa Jabatan Presiden Jadi 7 Tahun

Berita Golkar – Politikus senior Partai Golkar Ridwan Hisjam usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tujuh tahun. Menurut dia, masa jabatan presiden selama lima tahun yang diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 tidak cukup. Ridwan setuju dengan wacana amendemen UUD 1945. Menurut dia, masa jabatan presiden maksimal dua periode adalah ideal.

“Kenapa tujuh tahun? Karena lima tahun itu tidak cukup. Jadi tujuh tahun kali dua, 14 tahun itu waktu ideal bagi seorang presiden memimpin negara,” ujar Ridwan Hisjam dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/7/2024).

Dengan penambahan masa jabatan itu, menurut dia, presiden punya banyak waktu untuk menuntaskan program kerja yang sudah dicanangkan. Dia mengatakan, jika masa jabatan kepala desa diperpanjang dari 6 tahun menjadi 8 tahun, maka sudah seharusnya jabatan presiden juga perlu diperpanjang.

Terlebih, sambung dia, tugas dan program kerja yang dicanangkan presiden jauh lebih besar dari seorang kepala desa. “Usulan ini saya kira sangat logis, bahwa banyak program atau proyek strategis pemerintah yang belum selesai secara sempurna, ini karena waktu masa jabatan presiden masih sangat terbatas hanya lima tahun, dan kalau terpilih kembali menjadi sepuluh tahun. Mestinya maksimal 14 tahun,” imbuhnya.

Ia terus mendorong DPR segara melakukan amendemen mengembalikan UUD 1945 sesuai aslinya. Menurutnya, salah satu penyebab mengapa presiden kerap membuat versi-versi seperti yang disampaikan Megawati Soekarnoputri, yakni karena UUD 1945 terlalu banyak diamendemen.

Dia juga sangat menghormati apa yang disampaikan Megawati terkait wacana amendemen UUD 1945. Kata dia, Megawati adalah tokoh bangsa yang setiap pendapatnya harus dihormati. Ia merasa hormat dengan Megawati karena pernah diusung sebagai calon wakil gubernur Jawa Timur oleh PDIP pada 2008.

“Sejak reformasi pasal-pasal dari UU itu banyak yang dirubah. Hanya pembukaanya saja yang tidak rubah, sehingga karena aturan itu diubah, maka setiap presiden punya kebijakan yang terlihat berbeda dengan sebelumnya,” ujar anggota Komisi VII DPR ini.

Dia menuturkan, dengan mengembalikan UUD ke yang asli, maka akan ada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). MPR juga akan kembali sebagai Lembaga Tinggi Negara, bukan lagi presiden, kedaulatan tertinggi rakyat ada di MPR. Dirinya menyayangkan kedudukan MPR saat ini sama dengan DPR.

“Kalau enggak mau banyak versi-versi ya harus dikembalikan UUD 45 seperti yang dulu, murni sesuai aslinya. Saya sepakat apa yang disampaikan Bu Mega, kita harus kembali kepada UUD 45 yang dulu sesuai pikiran-pikiran para pendiri bangsa kita. UUD kita sekarang kan sekarang sudah sangat liberal, jauh dari budaya bangsa seperti gotong royong dan sebagainya,” pungkasnya. {sumber}