Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR Robert J. Kardinal mendorong agar program sekolah gratis dan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program prioritas Pemerintahan Prabowo Subianto dapat dilaksanakan dengan mengandalkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Seperti di Papua, sebenarnya persoalan pendidikan gratis, kesehatan gratis dan MBG sebenarnya tidak perlu menunggu uluran tangan dari (Pemerintah) pusat lagi, karena semua sudah menjadi kebijakan daerah. Tergantung keinginan dan kemauan kuat dari para kepala daerah,” kata Robert J. Kardinal kepada Herald.id, Minggu (2/3/2025).
Robert bilang, sebenarnya di Papua Barat Daya saja, sudah ada dua pilot project terkait program sekolah gratis dan MBG ini, yakni di Kab. Sorong Selatan dan Kab. Maybrat.
Program tersebut bernama Sekolah Sepanjang Hari (SSH) yang digagas dosen Universitas Papua (Unipa) Agus Sumule bekerjasama dengan Pemerintah daerah. DI SSH ini, diterapkan sekolah gratis dan makan bergizi gratis, termasuk kesehatan.
Dijelaskan Robert, di SSH itu, anak-anak bersekolah dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore. Di sekolah ini anak-anak juga mendapat baju seragam dan memperoleh pendidikan sebagaimana sekolah pada umumnya. Namun karakteristik sekolah ini, menerapkan tidur siang dan dua kali makan yakni pada pagi dan siang hari dan sekolah ini sudah jalan setahun lebih.
“Jadi sudah ada beberapa daerah yang bisa (melaksanakan sekolah gratis dan MBG) karena ada kemauan dari kepala daerah,” ungkap RK-sapaan Robert J. Kardinal.
Adapun SSH ini, lanjut politisi senior Fraksi Golkar ini, menggunakan dana desa dan dana APBD. Karena dananya dari dana desa, maka warga dan Pemerintah Desa ikut mendukung program tersebut karena memang diperuntukkan bagi anak-anak mereka.
Selain itu, yang masak untuk makan bergizi gratis adalah para ibu-ibu di desa itu sendiri.
Karena itu, Robert meyakini Program SSH ini bisa menjadi percontohan untuk sekolah gratis dan MBG bagi masyarakat dengan menggunakan dana APBD.
Hasilnya pun sejauh ini sangat terasa dimana mampu menurunkan angka putus sekolah dan memperbaiki gizi masyarakat setempat. Lebih dari itu, ekonomi masyarakat juga membaik seiring hadirnya program sekolah dan MBG ini.
“Karena sudah ada beberapa kabupaten yang menerapkan hal ini. tentu daerah yang lain juga harus bisa. Untuk pendidikan, kesehatan, dan MBG itu seharusnya bisa. Tidak perlu pusat (APBN), Tinggal keinginan dan kemauan kuat dari para kepala daerah,” dorongnya.
Lebih lanjut, politisi asal Papua Barat Daya ini mengatakan, program sekolah dan MBG ini memang sangat penting untuk Tanah Papua. Terutama bagi masyarakat asli Papua yang tinggal di pedesaan mengingat masyarakat yang tinggal di sana adalah homogen. Dalam arti, hampir 100 persen adalah Orang Asli Papua (OAP).
“Mereka ini semua membutuhkan makan gratis dan pendidikan gratis. Karena hanya melalui pendidikan dan kesehatan yang baik lah kita bisa membangun Papua,” tegasnya.
RK menilai, harusnya sekolah gratis dan MBG ini diawali oleh komitmen Pemerintah daerah untuk mendukung program ini melalui dukungan APBD. Sebab program ini akan menjadi sangat efektif untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah dan stunting di daerah yang sulit dijangkau seperti Papua.
“Biasanya juga warga yang tinggal di kampung tidak terlalu banyak. Sehingga dengan dana kampung itu cukup untuk menyukseskan sekolah dan MBG. Malah mungkin lebih. Jadi biar mereka bekerja mandiri dengan kearifan lokal yang mereka miliki, dengan cara-cara sendiri,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut RK, tidak mungkin petugas dari kabupaten maupun provinsi bahkan Pemerintah pusat bisa sampai di kampung-kampung untuk mengawal program sekolah gratis dan MBG itu. Tidak hanya itu, harus dipahami juga bahwa karakteristik wilayah desa dan kota sangat berbeda.
Apalagi yang tinggal di daerah kepulauan. Sebagai misal Kab, Raja Ampat, dimana Pusat Pemerintahnya di Waisai, namun untuk menjangkau kecamatan atau kelurahannya itu harus menggunakan transportasi laut yang tentu biayanya lebih mahal.
“Jadi saya pikir Pemerintah pusat perlu melihat ini, tidak bisa menyamaratakan. Program-program itu harus dilihat kondisi geografisnya, sosialnya bagaimana. Jadi tidak bisa Jakarta bikin sesuatu itu semua pukul rata dari Jakarta sampai Merauke, kan nggak mungkin. Jadi mari kita membuat program-program melihat keadaan situasi khususnya di Papua,” pungkasnya.
Hal senada dilontarkan tokoh masyarakat Papua, John NR Gobay. Ditegaskannya, sejatinya Pemerintah memberikan makan kepada anak sekolah bukanlah program yang baru. Sebab makan merupakan kebutuhan dasar manusia, sama dengan pendidikan.
Dijelaskan John, Pemerintah pada waktu lalu, pernah membuat program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Dasarnÿa adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman PMTAS.
Adapun program PMTAS ini adalah kegiatan pemberian makanan kepada peserta didik dalam bentuk jajanan/kudapan atau makanan lengkap yang aman dan bermutu beserta kegiatan pendukung lainnya, dengan memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan.
“Dulu juga ada Progas (Program Gizi Anak Sekolah) dikerjakan secara nasional oleh Kemdikbud tahun 2014-2019 bekerjasama dengan Word Food Program (WFP) di 300 Kabupaten/kota dan 600 SD daerah terluar Se Indonesia, dapurnya ditangani oleh orang tua dan masyarakat kampung sendiri,” ujarnya.
Menurut John, program makan bergizi gratis ini, dengan pengalaman yang lalu, pelibatan masyarakat jauh lebih cocok, sèpèrti daĺam program PMTAS dan Progas. Tinggal skema kerjanya yang perlu ditetapkan oleh Badan Gizi Nasioñal (BGN) dàlam pŕogràm MBG di Tanah Papua.
Untuk itu, dia menyarankan BGN melakukan sosialiasi kepada Pemda, yayasan dan sekolah terkait kegiatan MBG ini. BGN bersama Pemda juga perlu merumuskan Petunjuk Teknis atau Juknis bersama mengingat situasi di daerah di papua berbeda beda.
Ada daerah konflik, ada yang aman, ada daerah yang bisa diakses transportasi dan juga ada yang sulit. Ada juga anak dengan pendapatan orang tua yang baik, anak yang pendapatan kurang baik, sehingga tentu penanganannya berbeda beda. Yang penting, tegas John, sumber pangan harus berasal dari Pangan lokal.
“Terdapat juga program 1000HK atau sekarang di sebut Sarasehan oleh Pemda Tolikara dan program Sekolah Sepanjang Hari (SSH) oleh Unipa di Maybrat yang juga dapat diadopsi,” sarannya.
Program MBG, tambah John, juga diharapkan dapat menjadi sarana memotivasi anak anak yang tidak ke sekolah yang menurut data Unipa sangat fantastis, “Mereka dapat datang ke sekolah sehingga angka anak putus kuliah bisa berkurang jumlahnya,” tambahnya. {}