Berita Golkar – Penasehat ahli Balitbang DPP Partai Golkar sekaligus pakar hukum, Prof. Dr. Dr. Henry Indraguna, S.H., M.H., C.R.A., menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang saat ini tengah dibahas memang penting sebagai instrumen pemberantasan korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan kejahatan terorganisir.
Namun, menurutnya, ada sejumlah kelemahan serius dalam rancangan regulasi tersebut yang tidak boleh diabaikan, terutama dari aspek konstitusionalitas, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
“RUU Perampasan Aset harus dilihat secara hati-hati. Jangan sampai semangat pemberantasan korupsi justru melahirkan masalah baru berupa kriminalisasi politik, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran hak konstitusional warga negara,” ujar Henry dalam keterangan tertulisnya.
Henry yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Bapera ini menjelaskan bahwa sejumlah pasal dalam RUU Perampasan Aset berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ia menyinggung Pasal 28D ayat (1) yang menjamin kepastian hukum yang adil, Pasal 28G ayat (1) yang memberikan perlindungan atas diri pribadi dan harta benda, serta Pasal 28H ayat (4) yang menegaskan hak milik pribadi tidak boleh diambil secara sewenang-wenang.
Selain itu, berbagai instrumen hukum yang sudah ada seperti KUHAP, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, hingga instrumen HAM internasional seperti ICCPR dan UDHR, sejatinya telah menegaskan pentingnya due process of law dalam setiap proses perampasan aset.
Dalam kajiannya, Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini menilai RUU Perampasan Aset bisa menggerus asas praduga tak bersalah karena adanya pembalikan beban pembuktian. Ia mengingatkan, prinsip presumption of innocence adalah dasar yang tidak boleh diabaikan.
Ia juga mengkritisi rumusan mengenai perampasan aset yang masih menggunakan frasa “patut diduga berasal dari tindak pidana” karena dianggap terlalu luas dan multitafsir. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menyeret harta sah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindak pidana.
Henry juga menyoroti absennya perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik, seperti ahli waris, pembeli sah, maupun kreditur. Tanpa perlindungan yang jelas, orang-orang yang tidak terlibat tindak pidana justru bisa kehilangan hak miliknya. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang independen, ketentuan dalam RUU ini berisiko disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Bahaya paling nyata adalah ketika perampasan aset dijadikan alat politik. Dengan alasan pemberantasan korupsi, bisa saja undang-undang ini dipakai untuk menghancurkan lawan politik. Itu yang harus diwaspadai,” tegas Guru Besar Universitas Sultan Agung Semarang, Henry Indraguna.
Dalam pandangannya, RUU Perampasan Aset juga rawan menimbulkan tumpang tindih regulasi karena beririsan dengan KUHAP, UU Tipikor, dan UU TPPU. Jika tidak diharmonisasi, konflik norma dan dualisme kewenangan antar-aparat penegak hukum bisa memperburuk kepastian hukum.
Usulan Perubahan dan Penambahan Pasal Demi Perkuat Kepastian Hukum
Setelah mengurai kelemahan RUU Perampasan Aset, Henry juga menawarkan jalan keluar dengan menyampaikan sejumlah usulan perubahan dan penambahan pasal. Menurutnya, revisi ini penting agar RUU tidak hanya efektif sebagai instrumen pemberantasan korupsi, tetapi juga tetap adil, transparan, dan sejalan dengan prinsip konstitusi.
“RUU ini jangan sampai hanya dilihat sebagai instrumen represif untuk menghukum, tetapi juga harus menjaga prinsip keadilan. Kita tentu ingin pemberantasan korupsi dan kejahatan serius tetap berjalan efektif, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban penyalahgunaan kewenangan,” kata Henry yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia.
Untuk menjawab kelemahan-kelemahan tersebut, Henry yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia menyodorkan usulan perubahan dan penambahan pasal. Menurutnya, reformulasi ini akan memastikan RUU Perampasan Aset tetap berjalan efektif, namun tetap selaras dengan prinsip rule of law, perlindungan HAM, dan akuntabilitas publik.
Pasal 1 – Definisi Aset
Semula berbunyi: “Aset adalah segala bentuk kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.”
Henry mengusulkan perubahan menjadi: “Aset adalah segala bentuk kekayaan yang secara langsung atau tidak langsung terbukti berasal dari tindak pidana berdasarkan bukti yang sah dan putusan pengadilan.”
Usulan ini, menurutnya, akan menutup celah multitafsir dan mencegah penyalahgunaan.
Pasal 4 – Pembalikan Beban Pembuktian
Dalam rumusan lama, pemilik aset wajib membuktikan asal-usul aset. Henry menilai ini tidak sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Ia mengusulkan perbaikan: “Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku pada tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dan wajib dilakukan melalui proses peradilan yang adil (due process of law).”
Pasal 7 – Perampasan Tanpa Putusan Pidana
Rumusan lama memperbolehkan perampasan meskipun tidak ada putusan pidana inkracht. Henry memperketat dengan menambahkan syarat: perampasan hanya dapat dilakukan apabila terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak dapat diadili, disertai bukti meyakinkan, dan tetap melalui putusan pengadilan yang berwenang.
Pasal Baru – Perlindungan Pihak Ketiga Beritikad Baik
Henry mengusulkan pasal baru yang melindungi ahli waris, pembeli sah, maupun kreditur. “Pihak ketiga yang beritikad baik tidak boleh dirugikan oleh perampasan aset. Jika aset sudah terlanjur dirampas, mereka berhak mendapatkan kompensasi atau pengembalian sesuai hukum yang berlaku.”
Pasal 10 – Mekanisme Perampasan
Henry menambahkan klausul baru: setiap perampasan aset wajib mendapat pengesahan melalui putusan pengadilan khusus, dengan sidang terbuka untuk umum kecuali menyangkut rahasia negara.
Pasal Baru – Lembaga Pengawas Independen
Henry mengusulkan pembentukan Komisi Pengawasan Perampasan Aset, beranggotakan unsur Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, KPK, akademisi, dan masyarakat sipil. Komisi ini akan memastikan kewenangan tidak berjalan sewenang-wenang.
Pasal Baru – Transparansi dan Akuntabilitas
Henry menekankan pentingnya pencatatan seluruh aset rampasan dalam daftar nasional yang bisa diakses publik secara daring. Pengelolaannya wajib diaudit setiap tahun oleh BPK, dan hasil audit diumumkan ke masyarakat.
Menurut Henry, rangkaian usulan ini akan memperkuat fungsi RUU Perampasan Aset agar tidak hanya mampu menjerat pelaku kejahatan serius, tetapi juga menjamin kepastian hukum, melindungi pihak ketiga yang tidak bersalah, serta mencegah kriminalisasi politik.
“Dengan perubahan pasal-pasal tersebut, kita ingin menghadirkan undang-undang yang seimbang. Di satu sisi, pelaku kejahatan tidak bisa menikmati hasil perbuatannya. Di sisi lain, hak masyarakat tetap terlindungi, dan semua prosesnya transparan serta akuntabel,” pungkas Henry.