Berita Golkar – DPR RI merasa prihatin atas banyak temuan kasus pengoplosan beras premium di berbagai daerah di Indonesia. Anggota Komisi VI DPR RI Sarifah Suraidah Harum mengatakan, hal ini merugikan masyarakat sebagai konsumen.
“Bahkan, juga menghancurkan tatanan distribusi pangan nasional. Di mana seharusnya berjalan secara transparan dan bertanggung jawab,” kata Sarifah dalam keterangan tertulis, Jumat (1/8/2025), dikutip dari RRI.
Legislator ini menyoroti, temuan Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri yang mengungkap 212 merek beras bermasalah (136 premium dan 76 medium) beredar di pasaran. Data menunjukkan, 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak memenuhi standar mutu.
Kemudian, 95,12 persen dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Bahkan, 21,66 persen memiliki berat kemasan tidak sesuai klaim.
“Ini sudah menyangkut hak konsumen yang dijamin undang-undang. Mengemas beras kualitas rendah sebagai produk premium adalah penipuan yang harus dihentikan,” ujarnya.
Praktik ini berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99,35 triliun per tahun, dengan rincian Rp34,21 triliun untuk beras premium dan Rp65,14 triliun untuk beras medium. Saat ini, 26 merek dari 10 produsen besar, termasuk PT FS dan PT Wilmar Padi Indonesia, telah masuk tahap penyidikan.
Politisi Partai Golkar ini meminta, pemerintah bertindak tegas, tidak hanya melalui pengawasan administratif. Namun, juga penindakan nyata terhadap produsen nakal.
“Kemendag harus evaluasi izin perdagangan pelaku. Karena ini terkait kepercayaan masyarakat terhadap sistem pangan nasional,” katanya.
Menurutnya, kasus ini melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di mana masyarakat berhak atas produk berkualitas dan informasi yang transparan.
Melalui Komisi VI DPR, Sarifah merekomendasikan empat langkah strategis. “Pertama, evaluasi izin produsen pelanggar, kedua pemberian sanksi tegas (administratif hingga pidana),” ujarnya.
“Ketiga, digitalisasi pengawasan mutu beras via QR Code. Selain itu melibatkan BPKN dalam perumusan kebijakan pengawasan pangan,” ucapnya.
Ia mengatakan, kasus beras oplosan menjadi momentum perbaikan total dan distribusi pangan harus direformasi. Sehingga, rakyat dapat produk berkualitas dengan harga wajar. “Jangan sampai mereka dirugikan dua kali. Baik kualitas dan harga,” ujarnya. {}