DPD 1, DPP  

Seberapa Jokowikah, Bahlil Lahadalia?

Berita GolkarPertama, saya menelusuri arti kata Bahlil Lahadalia. Tidak ketemu. Yang ada, kata Bahlul. Bahlil bagi kalangan pembencinya di media sosial, disebut Bahlul. Padahal, Bahlul sendiri berasal dari nama kisah seseorang yang tinggal di pepohonan kuburan yang berdialog dengan khalifah Harun Al Rasyid yang datang berkuda dan tinggal di Istana. Bahlul adalah kepapaan yang bakal sirna, sehingga gundukan tanah di kuburan adalah istana.

Kedua, baik, nanti saja. Biar sahibul nujub arti nama ‘antik’ ini menjadi teka-teki yang tak habis-habisnya. Sebagaimana juga nama Gibran Rakabuming Raka atau Afzaal Zapata Abhista, putra kandung saya.

Bahlil baru berusia 48 tahun. Seusia dengan Prof Dr Firman Noor, profesor riset termuda Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini bergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejak LIPI bergabung menjadi BRIN, saya baru mengetahui aset yang dimiliki BRIN berada di mana-mana, dari pulau, lembah, gunung, hingga teknologi.

Akun X Bahlil juga tak memuat bio apapun tentang arti namanya.

Gibran?

Baru berusia 36 tahun. Artinya, setelah Bahlil masuk jenjang pendidikan menengah pertama, Gibran baru lahir. Usia Joko Widodo baru 27 tahun, ketika Gibran lahir. Usia Iriana? Baru 24 tahun. Tanggal lahir Gibran sama dengan ibunya, Iriana, yaitu 1 Oktober. Pun sama dengan tanggal lahir Airlangga Hartarto.

Sekalipun lahir di Surakarta, nama Iriana adalah manifestasi dari sebuah tugas yang diemban oleh Sang Kakek. Atau, saya lupa persisnya. Iriana, sebagaimana Zapata dan Chiapas bagi Afzaal putra saya, adalah manifesto yang melekat kokoh dalam sanubari luhur Ibu dari Kaesang Pangarep ini.

Ketika Bahlil dengan susah payah berhasil memenangkan pertarungan sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), satu tapakan kuat ia berhasil rengkuh. Tak mudah. Bahlil muncul sebagai Calon Ketua Umum pada tahun 2015, ketika para seniornya di tubuh Partai Golkar sedang terpecah belah ke dalam dua kubu politik: Bali dan Ancol. Belum ada satupun menteri dari Partai Golkar di kabinet.

Lima tahun sebelumnya, 2010, Bahlil maju dalam kompetisi yang spartan, yakni perebutan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Yang dihadapi, Dave Laksono Fikarno. Ketika calon-calon lain bersekutu dengan brother Dave, Bahlil tak bergeming. Pertandingan yang berakhir dengan skor 20 suara untuk Dave dan 10 suara untuk Bahlil. Tak jelek-jelek amat, kalau bisa dikatakan fenomenal.

Tahun 2010 itu, Joko Widodo masih menjadi Walikota Surakarta yang fenomenal. Dua tahun setelah Bahlil kalah dari Dave, Jokowi menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Wakil Gubernur: Basuki Tjahaja Purnama, semula adalah anggota DPR RI dari Partai Golkar yang memilih mengundurkan diri akibat putusan Rapimnas Ancol 2012 yang melarang kader maju sebagai kandidat independen, apalagi lewat partai politik lain.

Siapapun yang maju, bakal terkena pemberhentian dari Partai Golkar. Hanya satu orang yang mampu meniti jalan berapi itu, Ketua Balitbang DPP Partai Golkar yang maju sebagai kandidat perseorang di Kota Pariaman. Dan, diberi pengampunan. Uhuy.

Bahlil mulai menjadi partner strategis Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Joko Widodo ketika konsep ‘Membangun dari Pinggiran’ dan ‘Membangun dari Timur’ masih dijalankan dengan ketat, terutama di Papua. Berkali saya perhatikan, Bahlil bersama Presiden Joko Widodo di Papua, sepanjang masa jabatan sebagai Ketua Umum BPP HIPMI, 2015-2019.

Saya menduga, sikap ‘gokil’ Bahlil inilah yang membuka hubungan baik dengan the First Lady: Iriana Joko Widodo. Sebab, ketika Jokowi bergerak ke daerah lain di Indonesia, termasuk dalam pembangunan infrastruktur, apa yang sudah dikerjakan di Papua tak ditinggalkan begitu saja.

Pembunuhan banyak pekerjalah dengan brutal yang membuat tentara, terutama Brigade Mobil POLRI, kemudian lebih diperhatikan media, ketimbang katakan saja betapa Persipura menjadi klub sepakbola paling digdaya era itu.

Lanjut, ketika musim kampanye Pilpres 2019 tiba, Bahlil dan Eka Sastra membuat organisasi relawan tersendiri yang bergerak estafet antar kota. Dimulai dari Barat, berakhir di Timur. Entah bagaimana, ide pohon waktu yang menembus masa depan berupa surat yang ditaruh di dalam botol, membius Pak Joko Widodo.

Sebagai hasilnya, Eka Sastra ‘gagal’ mempertahankan kursi sebagai anggota DPR RI terpilih di Jabar 3. Kala itu, saya sering komunikasi dengan Eka, dan mentertawakan capaian itu. Bahlil dapat nilai, Eka kehilangan kursi. Mana ada senior di dalam tubuh Partai Golkar yang tak senang dengan penderitaan dari juniornya? Hobby yang tak banyak manusia menjalani.

Eka sering membalas chat saya waktu merpindah dari satu negara ke negara lain bersama Bahlil. Eka yang sungguh berbeda dengan masa mahasiswanya, meminjam buku di CSIS tepat saya bekerja, lalu memfotokopi untuk diedarkan kepada kader-kader (petinggi) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Entah mereka mengerti isi buku itu, tentu yang terpenting adalah memfotokopinya. Masa yang indah. Bagi saya, dan Eka, setahu saya.

Dan cerita Bahlil setelah itu, sudah tentu banyak yang tahu. Ya, menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia. Algoritma internet paling ‘jauh’, menjangkau lima tahun terakhir. Jejak digital, bejibun. Itupun kalau para penjelajah maya menyediakan waktu bersitungkin di depan layar komputer ataupun android.

Lah. Ketika sekarang Bahli (akan) terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, kaum halusinasi yang bocor di tingkat paling awal – yakni data, bukan kata – telah muncul sinyalemen bahwa Bahlil adalah kuda tunggangan (Troya) Sultan Harun Al Rasyid – eh maaf –, Presiden Joko Widodo untuk memanjat pohon beringin. Padahal, sejak kisah Bahlul diumbar, tak ada beringin di tanah Irak sana. Tetapi pohon-pohon di pemakaman umum yang tentu saya tidak tahu namanya. Sudah pasti bukan bunga Dahlia.

Kalau DNA politik Bahli di bedah, mana yang lebih kuat: kromosom hubungan baik demi pembangunan Papua dengan Ibu Iriana, ataukah juntai akar beringin yang melilit seluruh tubuhnya?

Saya tidak tahu. Kader-kader Partai Golkar di tanah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara tentu lebih memahami. Yang pasti, saya kenal putra dari Bahlil, salah seorang pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia yang saya bisikin: ‘Kau lawan bapak kau, kalau persoalan bangsa dan negara bertentangan dengan nilai-nilai civitas akademika. Kau tahu, berapa banyak aktivis mahasiswa alumni UI yang kritis? Tetapi tak ada yang sedekat kau dengan ayahmu!”

Siapapun yang pernah hidup sebagai aktivis, baik dalam artian kecil atau besar, pasti menaruh orang kepercayaan mereka sebagai belati. Bukan dayang-dayang yang sibuk bersolek, apalagi berkipas kepanasan, kalau ada hunjaman kata-kata yang menusuk nalar dan jiwa.

‘Mamak (paman) berperut tebal, ponakan berpisau tajam. Tugas seorang ponakan di ranah Minang adalah menyobek-nyobek dan menusuk-nusuk perut tebal pamannya,’ begitu filosofi di Ranah Minang. Dan saya percaya, sebagai area adat yang sangat luas, Papua juga mengenali hubungan ‘romantik’ seperti itu. Tentu, sebelum dan sesudah upacara bakar batu.

Selamat datang simbol-simbol dari Ras Melanesia di Jalan Anggrek Nelly, markas besar Partai Golongan Karya.

Markas Gerilyawan, Rabu, 21 Agustus 2024.

Oleh
Indra J Piliang
Ketua Biro Kaderisasi dan Keanggotaan DPD Partai Golkar Daerah Khusus Jakarta