Berita Golkar – Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo menilai sistem produksi pangan di Indonesia saat ini carut-marut. Padahal, tegasnya, Pemerintah telah mencanangkan bahwa di tahun 2028, Indonesia akan menuju Swasembada Pangan.
Carut-marutnya sistem produksi pangan tersebut terlihat dari masing-masing lembaga yang berjalan sendiri, tanpa ada satu penanggung jawab utama yang mengatur hal tersebut.
“Tadi dijelaskan oleh Pak Dirut Bulog bahwa mereka punya planning untuk terlibat dalam produksi pangan, juga PT Pupuk Indonesia dan perusahaan turunannya semua bergerak untuk produksi pangan juga kehutanan. Ini menunjukkan pemerintah tidak siap, tidak punya sistem,” jelas Firman kepada Parlementaria di sela-sela Kunjungan Kerja Spesifik Tim Komisi IV DPR RI ke Gudang Bulog, di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (13/11/2024).
Firman menegaskan harusnya penanggung jawab produksi pangan itu bukan berada di badan pangan nasional, PT Pupuk Indonesia, Bulog, atau Kementerian Kehutanan. Hal itu Kementerian Kehutanan tugasnya adalah menjaga ekosistem dalam merawat hutan, PT Pupuk Indonesia konsentrasinya adalah terkait ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk, dan Bulog itu sebagai buffer stock dan penyangga harga.
“Kalau semuanya itu keroyokan begitu menunjukkan pemerintah tidak siap. Harusnya, yang menjadi penanggung jawab komandonya adalah Kementerian Pertanian. Jadi ‘Menko Pangan’ itu sebenarnya adalah Kementerian Pertanian. Ini produksi dari hulu ke hilir. Sehingga, harus ada ketegasan bahwa pemerintah itu menentukan sikapnya bahwa penanggung jawab produksi pangan hanya satu, yaitu Kementerian Pertanian, tidak ada yang lain. Yang lain supporting system,” tegas Politisi Fraksi Partai Golkar ini, dikutip dari laman DPR RI.
Di lain sisi, hadirnya Menko Pangan, seperti saat ini, dinilai hanya berfungsi sebagai kebijakan politik. Namun, seharusnya, penanggung jawab produksi pertanian dalam rangka Swasembada Pangan haruslah diberikan kepada Kementerian Pertanian sebagai komando urusan pangan. Adapun lembaga lain yang terkait pangan, mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh kementerian tersebut.
“Jadi tidak bergerak sendiri-sendiri. Ini misalnya, PT Pupuk Indonesia gonjang ganjing masalah pupuk tidak selesai-selesai (padahal) hanya masalah administrasi. Bulog sendiri selama jadi Perum tidak bisa menjadi buffer stock karena mereka masuk ke pasar bebas, tidak mampu bersaing dengan pedagang umum seperti importir dan para pengepul atau perusahaan yang bergerak di bidang pangan,” tegas politisi dari Dapil Jateng III itu.
Jika Kementan menjadi dirijen produksi pangan, maka ke depan Bulog bisa melakukan transformasi kelembagaan. Misalnya, kalau terjadi impor, maka bahan itu masuk ke gudang Bulog, dan Bulog bisa menentukan berapa harga yang harus dijual di pasaran.
“Jadi terkendali. Jadi ada harga atas dan harga bawah. Harga bawah adalah harga keekonomisan supaya petani diuntungkan, harga atas agar konsumen tidak terlampau membeli pangan dengan harga mahal,” tutupnya. {}