Berita Golkar – Proyek Worldcoin, yang menawarkan mata uang kripto sebagai imbalan pemindaian retina mata, kini menjadi sorotan global. Melalui kajian terbarunya, pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH, MH, membeberkan pandangannya tentang potensi dan risiko di balik teknologi.
Sebagai akademisi sekaligus advokat yang memiliki idealisme membela kepentingan masyarakat luas,
Prof Henry menyerukan perlindungan dan memastikan keamanan data serta persamaan keadilan bagi publik.
Worldcoin adalah salah satu inisiatif yang digagas Sam Altman yang adalah CEO OpenAI, menggunakan alat bernama Orb untuk memindai iris mata demi menciptakan World ID, identitas digital unik. Sekaligus memberikan koin Worldcoin sebagai insentif.
“Ini adalah terobosan teknologi untuk verifikasi identitas di era digital. Namun, kita harus mewaspadai, apa konsekuensi dari menyerahkan data pribadi yang begitu sensitif ini?” kata Prof Henry kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Dia mengungkapkan isu privasi menjadi perhatian utama kajiannya. Data biometrik seperti retina bersifat permanen dan tak tergantikan, sehingga kebocoran data bisa berakibat fatal.
“Data retina adalah harta pribadi yang tak ternilai. Jika disalahgunakan, ini bukan hanya soal keamanan. Akan tetapi juga melanggar martabat dan privasi seseorang,” jelasnya.
Prof Henry mengkhawatirkan kurangnya pemahaman masyarakat, terutama di negara berkembang, tentang risiko menyerahkan data biometrik sekadar mendapatkan imbalan finansial.
“Banyak yang tergiur uang tanpa mengetahui dan paham implikasi dan akibat sosial-hukumnya. Ini seperti menukar privasi dengan sesuatu yang sementara,” ungkap Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini bahkan menyebut praktik ini berisiko mencerminkan “neo-kolonialisme digital”, di mana data dari masyarakat berpendapatan rendah dikumpulkan untuk kepentingan korporasi global yang tujuannya untuk eksploitasi setiap manusia yang mereka bisa perdaya.
Profesor dari Unissula Semarang ini kemudian mengingatkan ucapan filsuf John Locke, yang seperti sudah meramalkan hal ini.
“John Locke pernah menyebut bahwa kebebasan alami manusia adalah bebas dari kekuatan superior di bumi, dan hanya tunduk pada hukum alam,” ucap Prof Henry meminjamkan kata-kata bijak filsuf dunia tersebut.
Menurutnya pandangan Locke mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan individu, termasuk dari ancaman eksploitasi data oleh korporasi global.
Selain itu dari perspektif etika Islam, Prof Henry menekankan prinsip hifzh al-nafs (perlindungan jiwa dan tubuh) dan hifzh al-‘irdh (perlindungan kehormatan serta privasi).
“Dalam Islam, transaksi harus adil dan transparan. Imbalan yang diberikan tidak boleh manipulatif atau merugikan,” jelasnya.
Regulasi Ketat dan Edukasi Publik
Meski mengakui potensi teknologi ini, seperti mendukung distribusi Universal Basic Income, Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini menegaszkan perlunya regulasi ketat dan edukasi publik.
“Pemerintah harus segera membuat aturan perlindungan data biometrik. Masyarakat juga perlu diedukasi agar tidak mudah tergiur imbalan tanpa memahami risikonya,” tandas Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini.
Prof Henry Indraguna juga mengajak semua pihak untuk mengedepankan kehati-hatian dalam menyambut inovasi seperti Worldcoin.
“Teknologi harus melayani kesejahteraan, bukan mengorbankan privasi dan keadilan. Negara harus berperan sebagai pelindung, seperti yang digaungkan para pemikir seperti Locke,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Bapera ini menegaskan di tengah kemajuan teknologi, menjaga hak dan martabat manusia tetap menjadi prioritas.