Soedeson Tandra: Salah Kaprah Jika RUU KUHAP Disebut Hambat OTT

Berita GolkarKomisi III DPR RI menegaskan bahwa Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak akan menghambat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kerap dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, Komisi III DPR RI juga memastikan bahwa aturan lex specialis atau kekhususan dalam penanganan tindak pidana korupsi tetap berlaku.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Soedeson Tandra menilai, kekhawatiran KPK terhadap peluang OTT yang disebut makin kecil jika RUU KUHAP berlaku adalah keliru.

“Kalau KPK punya informasi mengenai hal itu, tangkap tangan, ya mesti harus dia sudah punya bukti baru dia tangkap orang, betul enggak? Kalau belum punya bukti gimana tangkap orang?” ujar Soedeson, saat dihubungi, Rabu (23/7/2025), dikutip dari Kompas.

Menurut dia, definisi penyelidikan dalam RUU KUHAP tetap mengacu pada norma yang berlaku dalam sistem hukum nasional, yakni untuk menemukan peristiwa pidana sebelum ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Dia pun menegaskan bahwa penyelidikan bukanlah tahap pro justitia sehingga tidak dapat digunakan untuk melakukan upaya paksa. “Penyelidikan itu belum pro justitia loh. Kan namanya selidiki, kan belum tahu kalau ada suatu peristiwa pidana terjadi. Pada saat peristiwa pidana terjadi, barulah naik menjadi pro justitia,” ujar dia.

Politikus Partai Golkar itu menambahkan bahwa OTT tetap bisa dilakukan sepanjang peristiwa tindak pidana terjadi secara langsung dan memiliki bukti permulaan yang cukup. Namun, jika tindakan penangkapan dilakukan berdasarkan informasi yang telah lama diketahui dan direncanakan, menurut dia, itu bukanlah OTT.

“Kalau istilah tangkap tangan, peristiwa itu enggak ada. Tiba-tiba di jalan ada orang nodong, jangankan KPK, saya warga negara bisa nangkep orang loh,” kata Soedeson.

Terkait kekhawatiran bahwa RUU KUHAP mengesampingkan sifat kekhususan dari UU KPK, Soedeson menegaskan bahwa ketentuan lex specialis tersebut tetap berlaku. “Berlaku lah, Mas. Kan sepanjang belum dicabut kan masih berlaku,” ujar dia.

Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa tidak ada ketentuan dalam RUU KUHAP yang mengecilkan atau menghambat OTT.

“Menurut hemat kami enggak, karena OTT ketika ada dua alat bukti, ada peristiwa pidana, ada rangkaian tindakan, kemudian terpenuhi dua alat bukti tindak pidana tipikor, saya kira itu bisa dilakukan operasi tangkap tangan,” ujar Rudianto.

Dia menuturkan, penyelidikan memang bukan bagian dari proses pro justitia dan belum dapat dilakukan upaya paksa. Tujuannya, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.

“Karena di dalam hukum itu tidak boleh kita mencari-cari kesalahan orang. Menemukan kesalahan, yes. Tapi, mencari-cari kesalahan kan tidak boleh,” tutur dia.

Rudianto juga memastikan bahwa aturan lex specialis tetap berjalan. Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang KPK tetap menjadi rujukan dalam penanganan kasus korupsi.

“Undang-Undang KPK ada, Undang-Undang Tipikor juga ada, jadi pasti tidak ada saling bertentangan antara norma yang ada di KUHAP dengan undang-undang tipikor maupun Undang-Undang KPK,” ucap dia.

Politikus Nasdem itu menambahkan bahwa RUU KUHAP belum final. Komisi III DPR RI pun masih membuka ruang untuk menampung aspirasi masyarakat, termasuk masukan dari KPK. “Kami masih menampung aspirasi. Undang-undang ini belum final. Aspirasi kawan-kawan akan kami tampung untuk kemudian nanti di finalisasi,” kata Rudianto.

Diberitakan sebelumnya, KPK mengatakan bahwa aturan penyelidikan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dapat menghambat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang selama ini dilakukan lembaga antirasuah.

Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum, Imam Akbar Wahyu Nuryamto mengatakan, tahap penyelidikan yang dilakukan KPK selama ini adalah memperoleh alat bukti permulaan dalam tindak pidana korupsi.

“Kalau dari tahap penyelidikan atau memperoleh bukti permulaan itu berubah, tidak seperti yang sekarang, maka kemungkinan untuk menjadi tangkap tangan (OTT) itu semakin kecil,” kata Imam, dalam acara diskusi bertajuk “Menakar Dampak RUU KUHAP terhadap Pemberantasan Korupsi” di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Imam menyinggung soal aturan penyadapan yang diubah dalam RUU KUHAP. Ia menilai perubahan itu akan membuat KPK kesulitan mengetahui peristiwa pidana.

“Jadi sekali lagi, peluang tangkap tangan itu dengan adanya hukum acara yang baru, ini akan memperkecil kalau tidak sinkron dengan hukum acara sebagaimana yang berlaku saat ini. Sekurang-kurangnya itu potensi permasalahannya,” ujar dia.

Diketahui, KPK menemukan 17 poin permasalahan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Permasalahan itu terkait dengan RUU KUHAP dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. {}