Soedeson Tandra Tanggapi Protes KPK: DIM Sudah Dibahas, Kenapa Baru Ribut Sekarang?

Berita GolkarAnggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersurat resmi jika merasa keberatan dengan RUU Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dibahas di Senayan.

“Iya jadi kalau KPK itu kan dari rumpun kekuasaan eksekutif. Silakan saja ajukan lewat pemerintah dong. Itu kan satu pintu, polisi, jaksa, KPK, hakim, semuanya kan lewat rumpun eksekutif. Prinsipnya kita menerima semua masukan, termasuk dari KPK, kalau mereka mau bersurat langsung, silahkan, kita terima. Tapi kan secara prosedural mereka lewat pemerintah kan,” kata Soedeson, Jakarta, Minggu (20/7/2025), dikutip dari Inilah.

Dia juga mengaku heran dengan catatan yang disampaikan lembaga antirasuah ke publik, yang menyebut RUU KUHAP tumpang tindih dengan UU KPK.

Soedeson mengingatkan, KPK yang merupakan satu rumpun dari pemerintah seharusnya mengetahui isi Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diberikan pemerintah.

“Nah pembahasan DIM kan sudah kita kerjakan. DIM dari pemerintah itu kita bahas, aneh juga kenapa setelah DIM itu dibahas ini mereka mengeluh begitu, kan aneh gitu loh,” kata dia.

Ketua KPK Setyo Budiyanto protes lembaganya tidak dilibatkan dalam pembahasan DIM RUU KUHAP.

“Setahu saya, sampai dengan hari-hari terakhir memang KPK tidak dilibatkan,” ujar Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (17/7/2025).

Setyo Budiyanto berharap KPK dapat berdialog langsung dengan Komisi III DPR RI untuk membahas RUU KUHAP.

“Ya harapannya sih kami bisa lakukan seperti itu lah,” ujarnya.

Menurut Setyo, pertemuan tersebut menjadi kesempatan bagi KPK untuk menyampaikan gagasan mengenai RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Untuk bisa menyampaikan ide, gagasan, dan harapan yang ada di KPK ya supaya betul-betul RUU KUHAP itu bisa menaungi upaya pemberantasan korupsi secara maksimal,” katanya.

Dia bilang, KPK telah menyelesaikan kajian terhadap RUU KUHAP dan membandingkannya dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dari hasil kajian tersebut, KPK menemukan 17 permasalahan yang menunjukkan ketidaksinkronan antara RUU KUHAP dengan UU KPK. Berikut 17 permasalahan yang dipersoakan oleh KPK:

1. Hilangnya sifat lex specialis atau kekhususan UU KPK dalam draf revisi KUHAP.

2. Penyelesaian perkara oleh KPK hanya dapat dilakukan berdasarkan KUHAP.

3, Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodasi karena penyelidik dalam RUU hanya berasal dari Polri dan diawasi oleh penyidik Polri.

4. Definisi penyelidikan dalam RUU KUHAP hanya sebatas mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana. Padahal, menurut UU KPK, penyelidikan bertujuan menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

5. Keterangan saksi hanya dianggap sebagai alat bukti bila diperoleh dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau persidangan. Sedangkan UU KPK menyatakan, keterangan saksi dapat diakui sejak tahap penyelidikan.

6. Dalam RUU KUHAP penetapan tersangka dilakukan setelah dua alat bukti terkumpul. Sementara di KPK, tersangka dapat ditetapkan saat perkara naik dari penyelidikan ke penyidikan.

7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan penyidik Polri. Sedangkan KPK memiliki kewenangan independen untuk menghentikan penyidikan dengan pemberitahuan kepada Dewan Pengawas KPK.

8. Pelimpahan berkas perkara ke penuntut umum melalui penyidik Polri. Padahal, KPK memiliki kewenangan untuk menyerahkan langsung dari penyidik ke Penuntut Umum KPK.

9. Dalam penggeledahan terhadap tersangka, wajib didampingi penyidik Polri dari wilayah hukum setempat.

10. Penyitaan harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan UU KPK memperbolehkan penyitaan tanpa izin Ketua PN.

11. Penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan dengan izin Ketua PN dan dikategorikan sebagai upaya paksa. Sementara KPK dapat melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan, cukup diberitahukan kepada Dewas, tanpa perlu izin Ketua PN, dan bersifat rahasia.

12. Larangan bepergian ke luar negeri dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi tersangka.

13. Perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung.

14. Kewenangan KPK dalam menangani perkara koneksitas tidak tercantum dalam RUU.

15. Perlindungan terhadap saksi atau pelapor hanya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Padahal, KPK juga memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan dalam perkara korupsi.

16. Penuntutan di luar daerah hukum dilakukan melalui pengangkatan sementara oleh Jaksa Agung. Sementara penuntut KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK serta berwenang melakukan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia.

17. Penuntut umum dalam RUU hanya mencakup pejabat Kejaksaan atau lembaga yang diberi kewenangan berdasarkan undang-undang. KPK menilai, seharusnya ditegaskan bahwa pejabat KPK juga merupakan bagian dari penuntut umum. {}