Berita Golkar – Sejarah tidak pernah benar-benar hitam atau putih. Ia selalu punya ruang abu-abu tempat bangsa belajar menilai dengan hati dan akal sehat. Begitu pula ketika kita membicarakan sosok Presiden Kedua Republik Indonesia, H.M. Soeharto sebagai tokoh yang di satu sisi pernah menuai kritik, namun di sisi lain telah mencatatkan jasa luar biasa bagi kemajuan negeri ini. Karena itulah banyak pihak yang mendengungkan agar Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional.
Namun, suara untuk menempatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukanlah hal baru. Dua tahun silam, Firman Soebagyo, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, sudah bersuara lantang. Ia menegaskan, sejak lama dirinya menyerukan agar bangsa ini berani bersikap adil terhadap sejarah.
“Saya sudah sampaikan sejak bertahun lalu, Pak Harto bukan hanya layak, tapi memang seharusnya diberikan gelar Pahlawan Nasional. Ini bukan soal politik, tapi soal kejujuran kita membaca sejarah dan menghormati jasa besar seseorang yang telah membawa Indonesia bangkit,” ujar Firman.
Menurutnya, Soeharto adalah arsitek pembangunan nasional. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia keluar dari keterpurukan ekonomi, membangun ketahanan pangan, dan menata pondasi ekonomi kerakyatan yang bertahan hingga kini. Firman mengingatkan bahwa pengakuan terhadap jasa besar Soeharto bukanlah glorifikasi buta, tetapi bentuk kedewasaan bangsa dalam menghargai kerja keras yang telah mengubah wajah negeri.
“Jangan jadikan gelar pahlawan sebagai alat politik. Penghargaan semacam itu harus diberikan dengan objektif, atas dasar jasa dan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negara,” tegasnya.
Soeharto, kata Firman, memimpin Indonesia di masa yang sangat sulit. Tahun 1967, ketika ia mengambil alih kepemimpinan, Indonesia tengah menanggung utang luar negeri sekitar US$700 juta dan menghadapi inflasi hingga 650 persen.
Namun dengan kebijakan ekonomi yang terukur dan dukungan tim ekonomi nasional, termasuk Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah dari Prabowo Subianto, Soeharto berhasil menstabilkan ekonomi dan menorehkan prestasi luar biasa: swasembada pangan tahun 1984, yang membuat Indonesia disegani dunia.
“Pak Harto membangun dengan disiplin dan keberanian. Ketika lembaga dunia menolak pendirian pabrik pupuk karena alasan intervensi, beliau menantangnya. Itu bentuk kedaulatan sejati, berani berdiri di atas kaki sendiri,” kata anggota Komisi IV DPR RI tersebut.
Stabilitas ekonomi juga menjadi ciri kuat era kepemimpinannya. Nilai dolar hanya Rp. 378 pada 1971, harga barang terjangkau, dan pembangunan menjangkau pelosok Nusantara. Di bidang sosial, Soeharto menginisiasi berbagai program peningkatan gizi dan pendidikan anak bangsa, konsep yang kini kembali diterjemahkan dalam program makan bergizi gratis era Presiden Prabowo.
Firman menilai, banyak pemikiran Soeharto yang terlalu maju untuk masanya. Setelah reformasi, sebagian konsep itu sempat dilupakan bahkan dicemooh, tetapi kini terbukti relevan kembali.
“Sekarang kita menyadari. Kemandirian pangan, teknologi, dan infrastruktur yang dulu beliau rintis, kini menjadi arah pembangunan nasional. Artinya, visi beliau jauh ke depan,” tutur Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia.
Ia menambahkan, bangsa Indonesia seharusnya tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun trauma politik. Yang lebih penting adalah keberanian untuk menilai sejarah secara utuh, untuk mengakui bahwa dalam perjalanan panjang bangsa ini, Soeharto telah memberikan warisan besar yang tak tergantikan.
“Semua yang beliau bangun adalah hasil perencanaan matang untuk generasi setelahnya. Sebagai bagian dari generasi penerus, saya meyakini Pak Harto sudah sangat pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional. Beliau adalah simbol kedisiplinan, kerja keras, dan kemandirian bangsa,” tegasnya lagi.
Bagi Firman, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah bentuk rekonsiliasi moral antara masa lalu dan masa depan. Sebuah langkah untuk meneguhkan kembali bahwa bangsa ini tumbuh karena keberanian orang-orang besar yang bekerja untuk Indonesia, meski tidak selalu dipuji.
Dua tahun berlalu sejak pernyataan itu disampaikan, gema suaranya justru semakin terasa kuat kini. Ketika banyak pihak baru berani membicarakan hal yang sama, mencoba mengail di tikungan tajam, Firman Soebagyo sudah lebih dulu berdiri di garis depan, menyerukan agar bangsa ini berani menilai sejarahnya sendiri dengan jujur.
Sebab pada akhirnya, seperti yang sering ia katakan, “Menghormati jasa bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan, tapi mengakui bahwa di antara segala kelemahan manusia, ada pengabdian besar yang pantas diabadikan dalam sejarah bangsa.”
Dan di titik inilah, nama Soeharto kembali bergema. Bukan hanya sebagai Presiden Kedua Republik Indonesia, tetapi sebagai bagian dari denyut nadi pembangunan yang membentuk Indonesia modern masa kini.













