Berita Golkar – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan serius di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur (Kaltim).
Indonesia darurat kekerasan perempuan, demikian kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi dalam diskusinya dengan jajaran Pemprov Kaltim di Samarinda, Sabtu (10/5/2025).
Angka kekerasan anak dan perempuan di Indonesia saat ini berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Menteri Arifatul pun menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan ramah bagi perempuan dan anak.
Menurutnya, bahwa upaya pencegahan tidak bisa hanya bergantung pada penegakan hukum, tetapi harus dimulai dari kesadaran kolektif di tingkat keluarga dan komunitas.
“Angka kekerasan memang saat ini mungkin bisa dibilang bahwa Indonesia darurat kekerasan,” ungkap Menteri Arifatul.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak hanya mencerminkan lemahnya sistem perlindungan, tetapi juga disebabkan oleh pergeseran nilai dan pola hidup di masyarakat.
Salah satu penyebab utama adalah perubahan pola asuh dalam keluarga, yang kini semakin banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, khususnya penggunaan gawai (gadget).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penggunaan gadget yang tidak bijak, baik oleh anak-anak maupun orangtua, telah mengurangi kualitas interaksi dalam keluarga. Hal ini berdampak pada kurangnya pengawasan dan pembentukan nilai-nilai positif sejak dini.
Selain itu, minimnya partisipasi masyarakat dalam merespons kasus-kasus kekerasan juga menjadi faktor yang memperburuk situasi.
“Kami melihat bahwa ikatan solidaritas, ikatan kebersamaan di desa ini semakin mencair, sehingga ketika ada persoalan, merasa itu bukan masalah saya,” jelasnya.
Menteri PPPA menekankan pentingnya membangun kembali semangat kebersamaan di masyarakat, agar kasus kekerasan tidak lagi dianggap sebagai urusan pribadi, melainkan persoalan kolektif yang harus diselesaikan bersama.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk saling peduli dan aktif berperan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, terutama bagi kelompok rentan.
“Kita ingin membangun bagaimana ketika ada kekerasan, itu adalah persoalan kita bersama dan mari kita carikan solusinya bersama-sama,” katanya.
Di tengah tingginya angka kekerasan, Menteri Arifatul tetap memberikan apresiasi kepada Kalimantan Timur yang dinilai telah menunjukkan komitmen dalam upaya perlindungan perempuan dan anak.
Kaltim tercatat telah menerima penghargaan dalam bidang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPE), serta memiliki sejumlah kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kota layak anak.
“Kaltim sudah sangat bagus, sudah ada penghargaan untuk PPE dan juga kota layak anak juga sudah ada, tinggal peningkatannya saja,” pungkasnya.
Jadi Pekerjaan Rumah
Turut hadir dalam pertemuan dengan Menteri PPPA, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud, jajaran Forkopimda Kaltim, Bupati dan Wali Kota atau yang mewakili, serta Kepala Perangkat Daerah, instansi vertikal, dan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Gubernur Rudy Mas’ud menyampaikan informasi penting terkait kelembagaan di Kaltim.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalimantan Timur baru saja resmi dipisahkan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sejak 2 Mei 2025.
Pemisahan ini diharapkan memperkuat fokus kerja dalam melindungi dan memberdayakan kelompok perempuan dan anak-anak. Dalam paparannya, Gubernur Rudy menjelaskan, capaian dan tantangan yang dihadapi Kalimantan Timur.
Pada 2024, indeks pembangunan gender Kalimantan Timur mencapai angka 87,46. Sebuah capaian yang cukup tinggi namun tetap menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Berdasarkan data terkini dari DP3A Kaltim per 31 Maret 2025, tercatat 224 kasus kekerasan di Kalimantan Timur. Kota Samarinda menjadi daerah tertinggi dengan 50 kasus, disusul Balikpapan (34), Kutai Kartanegara (31), Bontang (25), Kutai Timur (23), Kutai Barat (20), Penajam Paser Utara (18), Berau (12), Paser (9), dan Mahakam Ulu (2 kasus). Dari kasus-kasus ini, terdapat 241 korban, terdiri dari 77 perempuan dewasa dan 164 anak-anak (139 anak perempuan dan 25 anak laki-laki).
“Total korban kekerasan sebanyak 241 korban, 77 dewasa perempuan, dan 164 anak terdiri dari anak perempuan 139 dan anak laki-laki sebanyak 25,” ujar Rudy.
Jika dilihat dari bentuk kekerasannya, kekerasan seksual menempati angka tertinggi yaitu 34,9persen atau 107 korban, disusul kekerasan psikologis 30persen (92 korban), fisik 21persen (65 korban), penelantaran 6,5persen (20 korban), eksploitasi 2,9persen (9 korban), dan lainnya 4,6persen (14 korban).
Data juga menunjukkan bahwa mayoritas kejadian terjadi di dalam rumah tangga, mencapai 56persen atau 135 kasus. “Artinya di rumah tangga ini yang mestinya tempat untuk aman, ini ternyata adalah banyak kejadiannya di dalam rumah tangga,” tegas Rudy.
Tempat lainnya termasuk sekolah (9,5persen atau 23 kasus), fasilitas umum (9,1persen atau 22 kasus), tempat kerja (2,1persen atau 5 kasus), dan kategori lain-lain sebanyak 23,2persen atau 56 kasus.
Berdasarkan data pekerjaan korban, pelajar menjadi kelompok terbanyak yang terdampak kekerasan dengan 58,9persen atau 142 korban. Diikuti oleh korban yang tidak bekerja (14,1persen atau 34 korban), ibu rumah tangga (12persen atau 29 korban), ASN/TNI/Polri (9,1persen atau 22 korban), pekerja swasta dan buruh (2,1persen atau 5 korban), pedagang/tani/nelayan (1,7persen atau 4 korban), serta yang tidak diketahui sebesar 2,1persen atau 5 korban.
Dalam kesempatan itu, Rudy juga menyinggung tantangan sosial-ekonomi yang turut mempengaruhi kerentanan kekerasan.
“Sekali lagi, izin Bu, tingkat pengangguran di Kalimantan Timur tergolong tinggi, masih di atas 5 sekian persen. Kalau penganggurannya tinggi, otomatis kemiskinannya juga tinggi,” ujarnya
Terkait jenis layanan yang diberikan kepada korban, DP3A Kaltim mencatat layanan pengaduan mendominasi (71,9persen atau 241 korban), diikuti layanan kesehatan (19,4persen atau 65 korban), bantuan hukum (6,9persen atau 23 korban), rehabilitasi sosial (1,5persen atau 5 korban), dan penegakan hukum (0,3persen atau 1 korban).
Dari sisi pelaku, hubungan dengan korban paling banyak berasal dari pacar atau teman (33 orang), suami/istri (22 orang), orang tua (20 orang), tetangga (14 orang), keluarga (9 orang), guru dan rekan kerja masing-masing 2 orang, serta 10 pelaku lainnya dengan kategori beragam dan 7 yang tidak diketahui hubungannya.
Rudy juga menjelaskan langkah-langkah strategis Pemprov Kaltim dalam meningkatkan kualitas dan efektivitas pengarusutamaan gender (PUG).
“Gender di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, memprioritaskan kewirausahaan perempuan, pemberdayaan kelompok rentan, disabilitas, dan kelompok marginal,” ungkapnya.
Beberapa strategi yang dilakukan di antaranya pembentukan tim PPRG (Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender), tagging anggaran yang responsif gender, pemberian penghargaan kepada perangkat daerah yang berhasil menerapkan PUG, serta evaluasi berkala terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Rudy juga menyampaikan dukungan penuh terhadap program Kementerian PPPA RI dalam evaluasi penyelenggaraan pengarusutamaan gender, yang setiap tahunnya dinilai melalui predikat PPE (Penghargaan Parahita Ekapraya).
Ia juga mengapresiasi kehadiran Menteri PPPA dan menaruh harapan besar dari hasil pertemuan ini. “Semoga pertemuan ini memberikan manfaat yang besar dan menjadi langkah strategis dalam wujudkan perempuan yang berdaya, anak yang terlindungi, Indonesia Maju, Kaltim Emas, Indonesia Emas,” pungkasnya.
Samarinda Tertinggi
Berdasarkan data terkini dari DP3A Kaltim per 31 Maret 2025, tercatat 224 kasus kekerasan di seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Kasus Kekerasan per Daerah:
Samarinda: 50 kasus
Balikpapan: 34 kasus
Kutai Kartanegara: 31 kasus
Bontang: 25 kasus
Kutai Timur: 23 kasus
Kutai Barat: 20 kasus
Penajam Paser Utara: 18 kasus
Berau: 12 kasus
Paser: 9 kasus
Mahakam Ulu: 2 kasus
Dari 241 korban: 77 perempuan dewasa dan 164 anak-anak (139 anak perempuan dan 25 anak laki-laki)
Jenis Kekerasan
Kekerasan seksual: 34,9 persen (107 korban)
Kekerasan psikologis: 30 persen (92 korban)
Kekerasan fisik: 21 persen (65 korban)
Penelantaran: 6,5 persen (20 korban)
Eksploitasi: 2,9 persen (9 korban)
Kekerasan lainnya: 4,6 persen (14 korban).
Lokasi Terjadi Kekerasan
Dalam rumah tangga: 56 persen (135 kasus).
Sekolah: 9,5 persen (23 kasus)
Fasilitas umum: 9,1 persen (22 kasus)
Tempat kerja: 2,1 persen(5 kasus)
Kategori lain-lain: 23,2 persen (56 kasus)
Sumber: DPPPA Kaltim
Pendidikan dan Kesehatan Gratis
Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud menyampaikan apresiasi atas kunjungan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Kaltim.
Menurut Rudy Mas’ud, kunjungan ini sebagai bentuk dukungan nyata dari pemerintah pusat terhadap pelaksanaan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Kaltim.
“Kita bisa berkumpul di tempat ini dalam rangka agenda kunjungan kerja Ibu Menteri PPPA di Kalimantan Timur,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa Kalimantan Timur memegang peran strategis dalam pembangunan nasional, terlebih dengan statusnya sebagai lokasi Ibu Kota Nusantara.
Pemerintah Provinsi, kata Rudy, berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak melalui berbagai program strategis di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan perlindungan sosial.
“Memandang bahwa pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini adalah fondasi utama, dan perlindungan anak adalah fondasi utama menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan berkelanjutan,” ujar Rudy.
Gubernur kemudian memaparkan beberapa program unggulan Kalimantan Timur, termasuk kebijakan pendidikan gratis mulai dari jenjang SMA hingga S3 untuk seluruh warga provinsi Kaltim.
Ia juga menyebut bahwa beberapa kota seperti Bontang dan Balikpapan telah menggratiskan pendidikan mulai dari SD hingga SMA.
“Dan Bontang, Balikpapan sudah mulai tingkat SD sampai SMA. Begitu juga dengan kesehatan. Ada 10 persen warga Kalimantan Timur yang belum ter-cover, itu sudah di-cover semuanya, seluruh masyarakat Kalimantan Timur,” tuturnya.
Lebih lanjut, Rudy menyampaikan bahwa pemerintah daerah juga telah menanggung biaya BPJS untuk masyarakat dan menyediakan seragam sekolah gratis bagi anak-anak.
“Jadi BPJS-nya juga gratis. Gratispol pokoknya. Jadi perlindungan sosial, sudah kita berikan. Begitu juga dengan seragaman anak sekolah kami. Kita berikan mereka supaya duit yang mereka dapatkan hari ini adalah betul-betul untuk meningkatkan kehidupan, tarap hidup mereka, ibu.” katanya.
Gubernur berharap langkah-langkah tersebut dapat mendorong percepatan penurunan angka kemiskinan, peningkatan usia harapan hidup, serta memperpanjang lama pendidikan anak-anak di Kaltim hingga tingkat S3.
Meski begitu, Rudy mengakui bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi bersama, seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, kesenjangan akses layanan dasar, dan perlunya koordinasi lintas sektor yang lebih kuat.
“Untuk itu, melalui pertemuan dan diskusi yang akan kita laksanakan hari ini, kami sangat berharap dapat memperoleh arahan, masukan serta penguatan dari ibu menteri, guna mempercepat implementasi kebijakan dan program di daerah.”pungkas Rudy. {}