Status Hukum Bersih, Kejagung Pastikan Tak Pernah Ada Surat Perintah Penyidikan Untuk Airlangga Hartarto

Berita Golkar – Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menegaskan, status hukum Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto yang tidak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022 merupakan domain penyidik.

Hal itu disampaikan Jaksa Madya Kejaksaan Agung Widarto Adi Nugroho menanggapi gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).

Adapun dua lembaga masyarakat itu menggugat Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tidak menetapkan Airlangga Hartarto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi ekspor CPO dan turunannya tersebut.

“Bahwa tindakan termohon yang belum menetapkan tersangka terhadap Saudara Airtangga Hartarto merupakan domain dari penyidik,” kata Adi dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (10/10/2023).

Adi menyampaikan, dalam penetapan tersangka, penyidik harus mendasarkan atas minimal dua alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menegaskan, penyidik tidak akan menetapkan tersangka apabila belum atau tidak memiliki minimal dua alat bukti yang sah tersebut.

“Di samping itu, KUHAP tidak mengatur batas waktu bagi penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka sehingga penetapan tersangka sepenuhnya didasarkan pada ada atau tidaknya ditemukan minimal 2 alat bukti yang sah,” papar Adi.

Gugatan nomor perkara 105/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL ini didaftarkan pada Kamis 14 September 2023 lantaran dua lembaga penegak hukum itu diduga menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait kebijakan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng.

Adi menegaskan, tindakan Kejagung yang dinilai menghentikan penyidikan kasus ekspor CPO dan turunannya lantaran belum menetapkan Airlangga Hartarto sebagai tersangka merupakan kegagalan MAKI dan LP3HI dalam memahami apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan.

Sebab, ketentuan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP secara limitatif memberikan batasan penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas alasan tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.

Sementara itu, Kejagung hingga perkara ini digugat ke PN Jakarta Selatan belum pernah mengeluarkan perintah penyidikan yang khusus menyebutkan nama Airlangga Hartarto sebagai tersangka. “Tentu penghentian penyidikan harus didahului dengan adanya surat perintah penyidikan, dan tidak mungkin ada penghentian penyidikan jika belum ada surat perintah penyidikan,” kata Adi.

Dalam perkara ini, Airlangga Hartarto juga telah diperiksa sebagai saksi oleh Kejagung pada Senin (24/7/2023). Sebelumnya, Kejagung menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka dalam perkara ini. Ketiga perusahaan itu yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Dalam kasus ini, berkas perkara lima tersangka perorangan telah selesai di persidangan atau inkrah. Kelimanya juga berstatus terpidana. Kerugian negara akibat kasus izin ekspor CPO berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yakni Rp 6,47 triliun. {sumber}