DPP  

Terkait Polemik 4 Pulau, Henry Indraguna: Pemerintah Utamakan Keutuhan Negara!

Berita GolkarDi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, empat pulau kecil yakni Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Belayar mendadak menjadi panggung sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara. Pulau-pulau ini ada di perairan antara Kabupaten Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah Pulau-pulau ini bukan sekadar soal batas wilayah, melainkan menyimpan potensi besar yang menggoda.

Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, H. Muzakir Manaf, dalam pernyataan pada 10 Juni 2025, menegaskan bahwa keempat pulau ini menyimpan cadangan minyak dan gas bernilai miliaran dolar. “Ini bukan hanya tanah dan laut, tapi masa depan kesejahteraan rakyat Aceh,” katanya.

Gubernur Muzakir Manaf menyebut potensi ekonomi fantastis dari cadangan minyak dan gas di wilayah ini. Laporan Badan Geologi Kementerian ESDM (2023) menyebutkan potensi cadangan mencapai 500 juta barel setara minyak. “Ini harta karun untuk kesejahteraan rakyat Aceh kelak untuk turun temurun,” katanya.

Uniknya, ada dinamika masyarakat yang menambah warna. Warga Aceh Singkil, yang mayoritas nelayan dan petani, dengan tegas menolak pulau-pulau tersebu masuk ke wilayah Sumatera Utara.

“Kami lahir dan besar di bawah naungan Aceh, budaya dan sejarah kami di sini. Masuk Sumut sama saja merenggut identitas kami,” ucap Hasanuddin lantang, salah seorang tokoh masyarakat Aceh Singkil, dalam aksi damai di pelabuhan setempat pada 8 Juni 2025 lalu.

Sebaliknya, sebagian warga Tapanuli Tengah (Tapteng) yang justru berada dalam teritori Provinsi Sumatera Utara (Sumut) malahan turut mendukung klaim Aceh. “Kami lebih dekat secara budaya dan ekonomi dengan Aceh Singkil. Biarkan pulau ini tetap di bawah otonomi Aceh,” tegas Maria Siregar, ibu-ibu pedagang ikan yang juga aktif di kegiatan Kampung Pandan, Tapanuli Tengah.

Pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH, MH, menyebut bahwa sengketa empat pulau ini bukan sekadar urusan peta atau bukti tertulis dalam dokumen negara. “Ini soal keadilan, harmoni antardaerah, dan menjaga semangat desentralisasi,” ujar Prof Henry di Jakarta, Senin (16/6/2025).

Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang lahir dari Perjanjian Helsinki 2005, Aceh memiliki hak khusus atas wilayahnya, termasuk pulau-pulau kecil hingga 12 mil laut dari garis pantai.

“Secara historis, keempat pulau ini bagian dari Aceh Singkil, meski secara geografis lebih dekat ke Tapanuli Tengah,” jelas Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta.

Prof Henry menuturkan persoalan ini jika tak bisa diselesaikan dengan spirit dan jiwa kenegaraan dan kebangsaan yang kuat maka akan berimplikasi kepada konflik sosial dan stabilitas politik baik di tingkat daerah dan nasional.

“Tak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga ekonomi dan sosial. Ketegangan antardaerah berisiko memicu konflik horizontal, menghambat investasi, dan menahan potensi wisata bahari dan potensi sumber daya alam lainnya,” tandasnya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh 2024 menyebutkan, sektor kelautan dan perikanan di Aceh Singkil menyumbang 18% PDRB kabupaten tersebut, dengan potensi pariwisata yang belum tergarap secara optimal.

“Bayangkan, pantai-pantai indah di pulau-pulau ini bisa jadi destinasi wisata unggulan. Akan tetapi terhambat karena status wilayah,” bebernya.

Dalam konteks persoalan 4 pulau ini, Prof Henry juga menyoroti masalah prosedural dan bukan subtansial. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang dianggap tidak partisipatif dan dinilai melanggar Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.

“Keputusan sepihak hanya akan memperkeruh suasana. Pemerintah pusat perlu cepat berkonsultasi ulang dengan Pemerintah Aceh sesuai semangat otonomi khusus,” tegas Prof Henry. Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini menegaskan Partai Golkar siap mengulurkan tangan sebagai penutur damai dalam persoalan klaim 4 pulau ini.

Partai Golkar, kata Ketua DPP Ormas MKGR ini siap menjadi mediator untuk mencari solusi yang harmonis bagi kebaikan masyarakat setempat dan stabilitas nasional.

“Kami mengusulkan Forum Kolaborasi Wilayah Pesisir Aceh-Sumut dan sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ini saatnya dialog yang sehat, cerdas, dan berkualitas. Jadi bukan jadi ajang debat kusir yang saling klaim tanpa solusi,” katanya.

Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI ini kemudian menyebut bahwa filsuf senior Yunani, Plato pernah mengingatkan bahwa manusia adalah penutur cerita bumi, dengan tugas menjaga harmoni antara manusia dan alam.

“Karenanya Pemerintah harus bertindak bijak, tidak hanya untuk menjaga keutuhan negara, tetapi juga melindungi lingkungan pulau-pulau ini dari eksploitasi berlebihan,” terang Waketum DPP Bapera ini.

Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia menekankan keharmonisan wilayah dan kelestarian alam adalah warisan yang harus dijaga demi generasi mendatang. Hingga pekan ini, empat pulau ini masih menanti kepastian. Akankah mereka menjadi simbol persatuan dan keberlanjutan? Atau akan bernasib sama dengan pulau-pulau kecil yang lingkungannya rusak akibat penambangan.

Leave a Reply