Berita Golkar – Pemerintah berencana untuk melakukan pengetatan arus impor sejumlah barang yang mengganggu pangsa pasar produk dalam negeri. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya keluhan dari asosiasi maupun masyarakat akibat tingginya barang impor di pasar tradisional, sepinya pasar tradisional, dan peningkatan penjualan bukan barang dalam negeri di lokapasar.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat memberikan keterangan pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, usai mengikuti rapat yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, Jumat (6/10).
“Pemerintah, tadi arahan Bapak Presiden, untuk fokus kepada pengetatan impor komoditas tertentu. Komoditas yang dipilih adalah mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil, obat tradisional dan suplemen kesehatan, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, dan produksi tas,” ujar Airlangga.
Airlangga menyebut bahwa jumlah Harmonized System Code (HS Code) yang diubah ada 327 kode pos untuk produk tertentu, untuk pakaian jadi ada 328 kode pos, dan untuk tas ada 23 kode pos. Selain itu, lanjut Airlangga, ada perubahan aturan pengawasan barang-barang yang dilarang atau dibatasi (lartas) menjadi border atau diawasi dalam kawasan pabean.
“Saat sekarang yang sifatnya post-border diubah menjadi border. Dengan persetujuan impor dan juga laporan surveyor. Indonesia sendiri sudah menangani beberapa komoditas baik yang ada lartas itu ada 60 persen dan nonlartas ada 40 persen,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pengawasan kepada importir umum, dari awalnya post-border menjadi border. Akibat dari perubahan post-border menjadi border tersebut, maka ada regulasi yang harus diperbaiki di sejumlah kementerian/lembaga.
“Jadi peraturan Menteri Pertanian harus dilakukan perubahan, (Menteri) Perdagangan, (Menteri) Perindustrian, Badan POM, kemudian Kementerian Kesehatan, Menteri ESDM, dan (Menteri) Kominfo. Bapak Presiden minta peraturan menteri turunannya ini bisa segera direvisi dalam waktu dua minggu,” demikian Airlangga Hartarto. {sumber}