DPD II  

Tingginya Biaya Politik di Kabupaten Bekasi, Eks Politisi Golkar Ini Ungkap Butuh Minimal Rp. 100 Miliar Untuk Raih Kursi Bupati

Berita Golkar – Tidak sekadar menonjolkan kekuatan figur dan visi-misi, kandidat bakal calon bupati (Cabup) Bekasi di kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 juga harus siap mental dan finansial.

Pasalnya, untuk menduduki posisi orang nomor satu di daerah yang memiliki kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara ini, memerlukan ongkos politik yang tak sedikit.

“Minimal buat nyalon Bupati Bekasi itu Rp100 miliar. Untuk kampanye, menjalin koalisi, dan lain-lainnya, itu angka minimal. Mendingan nggak usah kalau di bawah Rp100 miliar. Bangun usaha saja,” ujar mantan politikus DPD Partai Golkar Kabupaten Bekasi, Ahmad Budiarta, kepada Radar Bekasi.

Pernyataan Budiarta ini tak hanya sekadar cuap-cuap. Pasalnya, politikus berkepala pelontos ini pernah terlibat langsung dalam kontestasi Pilkada Bekasi pada saat Neneng Hasanah Yasin (NHY) mencalonkan diri.

Berdasarkan pengalamannya, biaya untuk membuat Alat Peraga Kampanye (APK), sekaligus pemasangan menghabiskan anggaran sekitar Rp2 miliar sampai Rp3 miliar.

Kemudian biaya untuk belanja partai koalisi menghabiskan anggaran sekitar Rp10 miliar. Namun untuk biaya ini kata Budiarta, tergantung berapa banyak belanja partai koalisi.

Sepengetahuannya, belanja partai koalisi yang memiliki perolehan tiga kursi legislatif, paling murah Rp750 juta. Sedangkan partai dengan perolehan di atas lima kursi legislatif, calon bupati harus merogoh kocek Rp3 miliar sampai Rp5 miliar.

“Itu posisinya petahana. Sedangkan hari ini nol semua (tidak ada petahana), pastinya bakal mahal belanja partai koalisi,” tuturnya.

Politikus yang pernah mengemban jabatan sebagai Wakil Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bekasi ini, berhasil mengantarkan Neneng Hasanah Yasin (NHY) menduduki kursi Bupati Bekasi selama dua periode. Oleh karena itu dirinya menyarankan, untuk para politikus yang ingin maju pada Pilkada Bekasi 2024, alangkah baiknya menghitung finansial yang dimiliki.

“Itu berdasarkan pengalaman dan teman-teman yang kemarin ikut Pilkada. Modalnya di bawah Rp 100 miliar, akhirnya duit habis nggak karuan (jelas). Malahan menyisakan utang, nahasnya juga ya maaf, setelah Pilkada ada yang bunuh diri. Itu terjadi di Kabupaten Bekasi,” ungkapnya.

Saat ini Budiarta melihat, sudah banyak yang berseliweran ingin mencalonkan diri pada kontestasi Pilkada Bekasi 2024. Namun, dirinya menegaskan, calon kepala daerah itu tidak cukup hanya basa-basi. Melainkan membutuhkan jaringan dan finansial yang kuat. Karena yang terjadi hari ini, tidak ada makan siang gratis.

Terlebih, kondisi yang terjadi pada pesta demokrasi 2024 mendatang, kontestasi Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilkada berlangsung di tahun yang sama. Oleh karena itu, Budiarta menyampaikan, para elit yang berkeinginan bertarung di Pilkada Bekasi harus mempunyai nafas panjang. Karena yang terjadi hari ini, nama-nama yang mencuat harus bertarung di Pileg lebih dulu.

“Ada beberapa figur yang keluh-kesah. Nanti pada akhirnya, ada yang tidak melanjutkan ke Pilkada. Dia (kandidat calon bupati) memilih menjadi dewan. Karena hari ini saya belum lihat figur, ya maaf, punya pohon duit yang tidak berseri. Semua rata-rata modalnya tidak terlalu kuat,” ucapnya.

Pada kesempatan ini, Radar Bekasi berkesempatan berbincang langsung dengan salah satu Calon Bupati (Cabup) Bekasi pada Pilkada 2017 lalu, Meilina Kartika Kadir.

Perempuan yang akrab disapa Melly membenarkan, bahwa finansial menjadi penentu kemenangan. Kala itu Melly yang masih memegang komando tertinggi di DPC PDIP Kabupaten Bekasi harus merogoh kocek besar untuk bertarung di Pilkada.

Untuk di internal partainya sendiri, Melly mengklaim, tak mengeluarkan biaya karena posisinya saat itu sedang memegang tongkat kekuasaan partai berlambang banteng ini di Kabupaten Bekasi.

Hanya saja, untuk menggaet partai koalisi, dirinya harus mengeluarkan biaya besar meskipun perolehan kursi legislatif hanya satu. Saat itu, Melly memilih Abdul Kholik atau yang akrab disapa Iik (PKB) sebagai pendampingnya di kontestasi Pilkada.

Selain PDIP dan PKB, pasangan Melly-Iik juga didukung dua partai Islam lainnya, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Menurutnya, untuk menggandeng partai koalisi harusnya merogoh kocek dari kantong sendiri. Sayangnya, Melly tidak mau menyebutkan secara spesifik biaya yang dikeluarkan untuk menggandeng partai koalisi.

“Rahasia, tidak etis saya sebut. Pokoknya diatas Rp10 miliar. Habis tabungan investasi rumah, selesai Pilkada cuma sisa Rp500 ribu di rekening,” bebernya.

Tak hanya biaya koalisi, pengeluaran yang paling besar juga dirasakan ketika turun ke masyarakat, termasuk operasional untuk Tim sukses (Timses). Pasalnya, setiap pertemuan dengan masyarakat harus memberikan bingkisan. Terlebih, biaya saksi untuk di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) cukup besar perorangnya.

“Lebih lagi pas pencoblosan, masyarakat Bekasi mau berangkat ke TPS perlu ada uang es. Nah karena saya tidak bisa kasih uang es, ya saya kalah. Jadi tidak dicoblos masyarakat. Ini adalah sudah jadi kebiasaan, seperti budaya masyarakat. Ada uang es abang atau mpok di coblos,” katanya.

“Mangkanya mau misi visi, sama niat kita sebagus apa pun untuk berjuang demi kebaikan Kabupaten Bekasi, jika rakyatnya masih punya pola budaya seperti ini. Ya mau bagaimana,” sambungnya.

Meski mendapat nomor urut satu, upaya Melly kala itu belum mendapatkan hasil maksimal. Dirinya finish di urutan keempat dari lima calon yang bertarung.

Biaya yang cukup fantastis yang dikeluarkan oleh pasangan Melly-Iik ini, hanya menghasilkan perolehan suara 113.596 suara (9,59 persen). Oleh karena itu, dirinya menyarankan kepada para kandidat yang akan bertarung di Pilkada Bekasi 2024 agar menyiapkan mental.

“Siap mental, kalau kalah uang pasti habis. Jadi persiapkan mental dan uang. Karena itu sudah jadi budaya. Susah budaya digeser, karena yang mulai juga para calonnya,” ucapnya.

Terpisah, Pengamat Politik Bekasi, Adi Susila, melihat kondisi seperti ini hampir terjadi di semua daerah Indonesia, tidak hanya Kabupaten Bekasi. Dia menilai ongkos politik tertinggi biasanya terkait ”sewa perahu” menggaet partai koalisi.

“Saya kira tidak hanya di Kabupaten Bekasi, tapi seluruh daerah di Indonesia memang seperti itu, karena memang taraf masyarakatnya masih kaya gitu. Biaya paling besar itu sewa perahunya (belanja partai koalisi). Kalau untuk kampanye sebenarnya dibiayai negara, salah satunya alat peraga,” jelasnya. {sumber}