DPP  

Transformasi Partai Golkar: Adaptasi Sistem Demokrasi Masa Orde Baru Hingga Reformasi

Berita GolkarPartai Golkar atau Partai Golongan Karya merupakan salah satu partai politik besar yang ada di Indonesia. Partai ini didirikan oleh Soeharto dan Suhardiman pada tahun 1964, tepatnya di tanggal 20 Oktober, partai ini merupakan salah satu partai politik yang memiliki peranan penting di dalam sejarah politik Indonesia.

Selain itu, Partai Golkar juga memiliki sejarah yang panjang, karena mulanya Partai Golkar ini bukanlah sebuah partai politik, melainkan perwakilan dari banyaknya golongan yang berada di masyarakat.

Perwakilan ini pada mulanya dibentuk dengan harapan dapat menjadi representasi perwakilan kolektif dengan wujud “Demokrasi” yang khas Indonesia, dikutip dari Kabar Priangan.

Para penggagas perwakilan golongan ini seperti Bung Karno, Prof Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara yang kerap menggaungkan inilah wujud “Demokrasi”.

Hingga pada akhirnya, Partai Golkar menjadi sebuah partai politik yang pada saat itu diberi nama Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar. Partai ini berdiri ketika masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, yang mana didirikannya partai ini bertujuan untuk menandingi PKI atau Partai Komunis Indonesia.

Partai Golkar mengalami transformasi dari era Orde Baru ke era reformasi yang mengharuskan partai ini untuk beradaptasi kembali.

Transformasi Partai Golkar

Pada era Orde Baru, tepatnya setelah turunnya Presiden Soekarno di tahun 1966, Presiden Soeharto mengambil alih kekuasaan dan pemerintahan di Indonesia. Pada saat itu Partai Golkar menjadi salah satu tiang utama bagi pemerintahan di era Orde Baru karena partai politik ini mempunyai banyak sekali dukungan terlebih dari golongan militer.

Pada saat pemilihan umum yang dilaksanakan pada 3 Juli tahun 1971, Partai Golkar yang pada saat itu bernama Sekber Golkar memperoleh suara sebanyak 62,8% dan berhasil meraih kemenangan besar menjadi partai yang dominan dalam menduduki kursi pemerintahan di Indonesia.

Di era Orde Baru-lah Partai Golkar menjadi sebuah instrumen penting bagi pemerintahan dan negara juga memantau kehidupan politik di Indonesia.

Pada era ini, Partai Golkar cenderung berideologi otoriter di mana ini memfokuskan partai pada stabilitas poltik dan pembangunan ekonomi. Lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998, di situlah awal mula Indonesia memasuki era baru yaitu era Reformasi.

Sedangkan, di era reformasi, Partai Golkar kembali beradaptasi dengan situasi baru dan tantangan yang lebih berat di mana pada era ini masyarakat menginginkan keterbukaan dari pemerintah.

Tantangan Partai Golkar di masa era reformasi salah satunya adalah adanya transisi sistem demokrasi multipartai yang mana masa inilah menjadi masa sulit bagi partai ini, karena Partai Golkar mendapat citra negatif dari kalangan masyarakat terlebih dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh rezim Orde Baru.

Perubahan Paradigma Internal di Partai Golkar

Dalam upaya mempertahankan partainya Golkar melakukan pembaruan internal partai, dengan mengadakan Munas (Musyawarah Nasional) pada tahun 1998, dan Partai Golkar memperkenalkan paradigma baru yang mendasari pada keterbukaan, demokrasi, responsif, juga mandiri.

Dengan adanya perubahan paradigma ini untuk menyesuaikan dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat pada era reformasi, selain itu juga Partai Golkar melakukan reformasi di internalnya guna memperkuat struktur organisasi yang ada di dalamnya dan kepemimpinan serta menjaga agar para kader tetap menjalin hubungan baik dan solid satu sama lain.

Dari adanya strategi baru yang dibuat, Partai Golkar ini berhasil bangkit dari masa sulitnya. Pada pemilu yang dilaksakan tahun 1999, Golkar berhasil meraih suara sebanyak 22% dan ini menempatkan Partai Golkar pada posisi kedua teratas setelah Partai PDI-P.

Pada tranformasi ini juga Partai Golkar tetap bisa bertahan dalam sistem politik multi partai, Partai Golkar bisa meraih suara banyak di pemilu tahun 2004 dengan mencapai 21,58% dan masih bisa mendominasi pemerintahan Indonesia.

Hal ini bisa memperlihatkan keberhasilan Partai Golkar untuk bertranformasi dari instrument negara menjadi partai yang kompetitif di sistem demokrasi multipartai.

Tetapi, tantangan yang dihadapi Partai Golkar tidak berhenti di situ saja, Partai Golkar masih menghadapi dinamika politik di Indonesia yang masih berubah-ubah, bersaing dengan partai- partai politik di Indonesia dan menjaga citra baik dihadapan calon pemilih.

Munculnya pragmatisme politik memberikan pengaruh pada Partai Politik Indonesia di era reformasi, ini mempengaruhi semua partai politik termasuk Partai Golkar. Sebagai partai politik yang dikenal dengan doktrin “Karya-Kekaryaan”, partai ini mulai menunjukan adanya perubahan.

Strategi pragmatisme di masa sekarang sering digunakan dalam kontestasi politik, keputusan untuk mencapai keinginan dengan menempuh jalur jangka pendek. Hal tersebut membuat nilai-nilai ideologi memudar, keputusan serta kebijakan tidak lagi diambil dari prinsip partai, tetapi mengutamakan proses yang praktis untuk mempertahankan posisi suatu jabatan.

Partai Golkar juga pada saat ini lebih sering mengutamakan figur lain yang lebih populer dari pada kader partainya sendiri untuk diusung dalam kontestasi politik. Ini semua tidak mengindahkan potensi yang dimiliki oleh kader internal yang memang seharusnya memilki peluang dalam kontestasi politik.

Dalam hal ini bisa menimbulkan penghambatan pada regenerasi kepemimpinan di Partai Golkar. Partai Golkar mejadi partai yang terlibat dalam sejarah negara Indonesia dan memiliki perjalanan panjang, di mana yang tadinya bukan sebuah partai poltik berubah menjadi partai politik untuk bisa menandingi suatu partai dan terlibat dalam sistem pemerintahan yang ada.

Partai Golkar juga selalu menjadi instrumen penting bagi pemerintahan. Dalam perjalanan panjangnya, Golkar mengalami tranformasi yang sangat signifikan dan harus beradaptasi kembali juga mendapatkan kecaman dari masyarakat serta menghadapi banyaknya tantangan. Selain itu munculnya pragmatisme politik ini memberi pengaruh kepada Partai Golkar.

Penulis: Aisya Rahmani, Salwa Nabilah, Desi Rahmawati, Erwin Kusdiana, dan Hudan Ansori