Berita Golkar – Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Peyiaran yang dilaksanakan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia melalui Panja RUU Penyiaran, terus belanjut, dengan agenda RDUP Panja Penyiaran yang membahas Dampak Pengaturan Penyiaran Multiplatform, dengan menghadirkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan dan ICT Watch.
Yudha Novanza Utama Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I, sekaligus anggota Panja RUU Penyiaran mengungkapkan, dalam proses revisi undang-undang ini, membutuhkan masukan dan saran dari semua pihak atau stakeholder yang berkaitan dalam penerapan undang-undang itu sendiri.
“Kami membutuhkan masukan dari semua pihak, khususnya bersentuhan langsung dengan aturan yang akan disahkan nantinya,” jelasnya Rabu (30/4/2025), di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Yudha mengungkapkan agenda RDPU yang dilaksanakan, yaitu mendengarkan masukan dari empat lembaga yang selama ini, secara serius memperhatikan dampak dari penggunaan teknologi, melalui berbagai platform atau multiplatform yang bebasis internet.
“Kehadiran dari KPAI, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Perempuan, dan ICT Watch, bertujuan untuk memberikan masukan untuk memperkaya substansi RUU Penyiaran,” bebernya.
Dijelaskan juga oleh Yudha, menjadi perhatian serius yaitu dampak negatif dari banyaknya konten yang tidak sesuai dengan usia khususnya anak-anak. Diharapkan dengan adanya masukan, maka tujuan dari RUU Penyiaran sejalan dengan keinginan dari seluruh pemangku kepentingan.
“Harapan dari RUU Penyiaran ini, mampu memberikan dampak positif bagi rakyat khususnya anak-anak dan perempuan,” pungkasnya.
Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfa mengatakan, adanya pergeseran cara orang mengakses informasi Bermunculannya banyak konten yang tidak berkualitas dan tidak berorientasi pada kepentingan publik Minimnya tingkat kepemirsaan pada konten yang berkualitas. sehingga butuh regulasi untuk mengatur dan memfasilitasi penggunaan teknologi agar konten yang disiarkan sesuai dengan standar kualitas dan regulasi yang relevan.
“Memang perlu penguatan peran regulator untuk mengawasi kondusivitas penyiaran Perlindungan terhadap Masyarakat dari Konten Merugikan, seperti konten kekerasan, pornografi, diskriminasi, dan ujaran kebencia,” terangnya
Ditambahkannya Komnas Perempuan setuju bahwa penyiaran di ranah digital harus dipantau agar tercipta kondisi yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif, namun perluasan cangkupan platform perlu diperjelas. Apakah akan merambah juga hingga ke penyiaran di media sosial, sehingga tidak berpotensi menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat di media sosial.
“Revisi UU Penyiaran diharapkan juga tetap mengadopsi pasal-pasal dalam UU Penyiaran yang sudah mengakomodir dalam upaya pembangunan dunia penyiaran yang akuntabel, aman, adil, dan setara,” pungkasnya.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Agus Tinus Sirait mengugkapkan, pada UU Penyiaran tahun 2002 dinilai belum menyentuh ranah digital atau multiplatform. Sehingga KPI hanya memiliki wewenang terbatas pada siaran berbasis frekuensi seperti televisi dan radio.
Tidak ada regulasi usia minimum penggunaan sosial media ataupun aturan yang membatasi akses platform tertentu bagi anak-anak, dan Mekanisme sanksi untuk konten atau pihak yang mengeksploitasi anak.
“Kami sangat mendukung Revisi UU Penyiaran ini, dan kami meminta untuk nantinya adanya penambahan aturan ataupun pasal yang mencakup kewenangan KPI untuk mengawasi platform global. Serta Peran pengawasan terhadap konten viral yang tidak ramah anak,” tegasnya.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan bahwa RUU Penyiaran masih memiliki kekosongan hukum atau kelemahan pengaturan khusus terkait perlindungan terhadap anak, sehingga masih perlu adanya penekanan khusus nantinya, dan sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum .
“Kami berharap ada pasal khusus dalam penegakan hukum yang memang menyangkut perlindungan anak nantinya. Sehingga adanya regulasi dan regulator yang memang menjadi pengawas di tingkat bawah,” tegasnya.
Direktur Eksekutif ICT Watch Indriyanto Banyumurti mengungkapkan butuh penegasan pendekatan non kriminalisasi terhadap regulasi ruang digital. Sehingga mendorong pendekatan berbasis edukasi dan dialog, dalam konteks pengaturan ruang digital dengan tetap disertai regulasi yang jelas dan tegas terkait perilaku-perilaku yang merugikan, seperti penyebaran misinformasi, kekerasan & eksploitasi seksual, atau perilaku lain yang berpotensi membahayakan.
“Mempertimbangkan untuk fokus memperkuat interoperabilitas dalam regulasi ruang digital, termasuk komunikasi yang terbuka dan kolaborasi antar aktor dalam penanganan kasus dan pengembangan teknologi) dan pengembangan teknologi berbasis AI yang inklusif untuk moderasi konten,” tegasnya.