Berita Golkar – Politikus Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin menilai, ide kepala daerah (pilkada) dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak relevan karena sudah ditegaskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan itu memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Sabtu, 26 Juli 2025, mengatakan bahwa putusan MK tersebut mengkonklusikan bahwa pengisian jabatan legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun di daerah harus dipilih melalui pemilihan umum.
“Secara realitas dipilih melalui pemilu, inilah yang dikehendaki rakyat,” kata Zulfikar merujuk alinea IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dikutip dari Tempo.
Zulfikar mengatakan, alih-alih kembali ke pemilihan anggota DPRD seperti masa lalu, semua pemangku kepentingan seharusnya berkomitmen dan konsisten menjaga kedaulatan rakyat.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat sekaligus Ketua Fraksi Golkar di DPR, Sarmuji, belum merespons tanggapan Tempo soal sikap resmi partai. Pesan yang dikirim melalui nomor Whatsapp dia pada Sabtu, 26 Juli 2025, belum berbalas.
Berdasarkan catatan sejarah perpolitikan Tanah Air, sejak Indonesia merdeka hingga era Orde Baru, pemilihan kepala daerah atau pilkada diwakilkan oleh DPRD. Pilkada secara langsung baru terlaksana setelah Era Reformasi dan untuk kali pertama digelar pada Juni 2005.
Diskursus pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali mencuat setelah dimunculkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Rabu, 23 Juli 2025. Ide itu sebelumnya pernah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dan didukung sejumlah politikus Koalisi Indonesia Maju, kumpulan partai politik pendukung pemerintah.
Muhaimin mengusulkan dua pola dalam pemilihan kepala daerah, yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilakukan pemerintah pusat. Adapun, pemilihan bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota dipilih oleh rakyat melalui DPRD kabupaten/kota.
“PKB berkesimpulan harus dicari jalan yang efektif antara kemauan rakyat dengan kemauan pemerintah pusat. Selama ini pilkada secara langsung ini berbiaya tinggi, maka kami mengusulkan dua pola itu,” kata Muhaimin, yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat.
Dalam kesempatan berbeda, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan tak ada jaminan pilkada lewat DPRD lebih murah. Sebelum pilkada langsung dimulai pada 2004, transaksi jual-beli suara di DPRD lazim terjadi. “Banyak praktik dugaan suap dalam pemilihan oleh anggota DPRD,” kata Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem ini pada Jumat, 18 Juli 2025.
Mahalnya biaya pemilu, kata Titi, terjadi lantaran praktik pengeluaran ilegal yang tak dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Contohnya politik uang lewat serangan fajar atau bagi-bagi duit menjelang pemilihan. Sebagian calon kepala daerah ataupun legislator juga harus menyetor duit ke partai agar mendapatkan tiket pencalonan. {}