Berita Golkar – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ramai-ramai mempersoalkan makna kewenangan khusus yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Pasalnya, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam RUU tersebut sama sekali tidak mencirikan adanya kekhususan.
Anggota Baleg DPR Zulfikar Arse Sadikin mempertanyakan hal ini ketika Baleg bersama DPR dan DPD mulai membahas DIM yang ke-236. Salah satu ayatnya memuat kewenangan khusus dalam sub-bidang pelayanan penanaman modal. Hal ini meliputi pelayanan perizinan dan non-perizinan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Pena¬naman Modal Dalam Negeri (PMDN) secara elektronik dan terpadu satu pintu.
Zulfikar mengatakan telah membaca seluruh DIM dalam RUU DKJ ini. Hanya saja, dia belum menemukan letak kekhu¬susan Provinsi DKI Jakarta, dari provinsi lainnya.
“Sependek pemahaman saya, mungkin ini secara keseluruhan, itu sebenarnya kewenangan ini menyangkut urusan-urusan yang sudah ada undang-undangnya,” kata Zulfikar dalam Rapat Pa¬nitia Kerja (Panja) Pembahasan DIM RUU tentang Provinsi DKJ, Jumat (15/03/2024).
Politisi Fraksi Golkar ini mengatakan, seluruh aspek ke¬wenangan khusus yang dimuat dalam DIM, seperti tenaga kerja ataupun menyangkut tata ruang, semuanya masih mengacu ke undang-undang yang sudah ada.
“Kalau normanya seperti ini belum menunjukkan isi dari kewenangan khusus itu. Ini kan hanya bidangnya, urusannya, meliputi, tapi isinya sendiri apa?” tegasnya.
Mestinya, sambung anggota Komisi II DPR ini, kewenangan khusus di dalam RUU Provinsi DKJ itu lebih diatur lebih spesifik dan dibedakan dengan undang-undang yang sudah diatur sebelumnya, seperti Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pemda) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
“Kalau seperti ini menurut saya, ya belum. Dan itu harus ada di undang-undang, bukan di Peraturan Pemerintah. Sehingga jelas tuh kekhususan Jakarta itu di urusan-urusan itu apa,” tegasnya.
Hal senada dilontarkan anggota Baleg DPR Herman Khaeron. Menurutnya, seluruh norma-norma yang diatur ter¬kait dengan kekhususan yang disebutkan di DIM 161 dan seterusnya, termasuk DIM tetap, namun pada akhirnya, sebetul¬nya norma dan lain sebagainya masih merupakan kewenangan Pemerintah pusat.
“Dan pada kewenangan ter¬tentu (Provinsi DKJ) dapat di¬tarik menjadi kewenangan pusat juga,” ungkapnya.
Dia lalu mencontohkan salah satu DIM tetap dalam RUU DKJ ini yang sama sekali ti¬dak memberikan kekhususan. Yakni, Pemerintah pusat ber¬wenang menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria terhadap penyelenggaraan uru¬san Pemerintahan yang men¬jadi kewenangan provinsi DKJ sebagaimana dimaksud pada ayat 1, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Artinya, kalau saya melihat pada sisi ini, ya sepertinya di¬berikan kepala, tetapi dipegang buntut,” bilangnya.
Kemudian di DIM berikutnya, sambung anggota Komisi VI DPR ini, dalam rangka mene¬tapkan norma, standar, prose¬dur, dan kriteria tersebagian pada ayat 2, Pemerintah pusat melibatkan pemerintahan daerah khusus Jakarta.
“Bunyinya melibatkan. Tapi tetap saja buntutnya dipegang Pemerintah pusat. Artinya, betul kalau dipertanyakan. Kalau tadi dipertanyakan oleh teman-teman yang terdahulu, ya tentu saya juga mempertanyakan kekhususannya mana,” tanya pria yang akrab disapa Bang Hero ini.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerin¬tahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu¬kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, lanjutnya, Jakarta menjadi daerah khusus, karena memang Jakarta adalah ibu kota negara.
“Kalau sekarang ibu kota negaranya nggak ada, sekarang khususnya apa?” tanya Hero lagi. {sumber}