Berita Golkar – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo mengungkap mengenai kronologis bagaimana revisi UU Pilkada bisa masuk dalam pembahasan Baleg DPR pada 22 Agustus 2024 lalu. Dijelaskan oleh Firman Soebagyo, revisi UU Pilkada sebetulnya sudah lama masuk dalam inisiasi legislasi DPR RI. Namun pembahasannya terus molor dan tidak dilanjutkan untuk waktu yang cukup lama.
“Namun tentunya kami dari anggota Baleg DPR sudah cukup lama menginisiasi revisi UU Pilkada ini. Ketika itu sudah sampai pembahasan tingkat II, dan kemudian Surpres sudah turun dari pemerintah. Hanya persoalannya adalah kenapa UU ini tidak dibahas saat itu,” papar Firman Soebagyo kepada redaksi Golkarpedia pada Senin (26/08).
Mengenai penyebab mengapa revisi UU Pilkada ini tidak ditindaklanjuti, Firman kembali menjelaskan bahwa draft rancangan UU mandeg di unsur pimpinan. Sementara itu, Surpres (Surat Presiden) sudah turun sejak Januari 2024. Andai revisi UU Pilkada dibahas dan mampu diselesaikan saat itu, tentu peristiwa demonstrasi besar seperti saat ini bisa dihindari.
“Lamanya pembahasan ini konon katanya ada di unsur pimpinan. Belum tahu kebenarannya sampai di mana, saya dengar sejak bulan Januari Surpres sudah turun. Kenapa ini tidak dibahas? Kalau ini dibahas maka kemungkinan hal-hal yang terkait dengan peristiwa seperti kemarin tidak akan terjadi,” sambung politisi Partai Golkar ini.
Lanjut Firman Soebagyo, menurutnya sumber kemarahan masyarakat akhir-akhir ini lebih disebabkan karena, ketika ada keputusan dari MK yang menganulir UU Pilkada dan kemudian DPR melakukan pembahasan mendadak terkait UU ini. Hal inilah yang menimbulkan kecurigaan masyarakat.
“Harusnya sensitivitas dari kita sebagai anggota dewan harus dikedepankan. Karena akhir-akhir ini banyak sekali masyarakat yang menyampaikan kemarahan dan kekesalan akibat dinasti kekuasaan. Ini sudah menjadi isu. Akibat dari kemarin keputusan MK, mengubah usia untuk calon Wakil Presiden, kemudian pencalonan gubernur dari keluarga tertentu. Posisi ini yang tidak terbaca oleh pimpinan DPR,” tegas Firman Soebagyo.
Terakhir Ketua Dewan Pembina SOKSI ini menegaskan dan meyakinkan kepada publik bahwa DPR RI tak akan mengakali putusan MK untuk Pilkada 2024. Ia turut menjelaskan, implikasi formal dari putusan MK tersebut bersifat final dan binding. Apalagi komisi II DPR RI sudah ketuk palu terkait pengesahan PKPU yang mengikuti putusan MK nomor 60.
“Perlu kami sampaikan kepada publik bahwa putusan MK itu bersifat final dan binding. Jadi tidak ada siapapun yang berhak mengoreksi dan membatalkan keputusan MK. Sekalipun dalam pengambilan keputusan ada unsur subjektivitas dari para hakim karena itu haknya hakim. Namun faktanya secara de facto dan de jure, keputusan MK sudah diputuskan hingga hukumnya wajib dilaksanakan,” pungkas Firman Soebagyo. {redaksi}