Gubernur NTT Terpilih, Melki Laka Lena Akui Penyelenggaraan Pilkada 2024 Mahal

Berita Golkar – Gubernur NTT terpilih, sekaligus politisi Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena menilai, Indonesia bisa belajar dari negara tetangga yang sudah menerapkan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Negara-negara itu, yakni Malaysia, Singapura, dan India.

Hal ini menanggapi saran Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah yang DPRD untuk penghematan, yang sarannya pertama kali digulirkan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia.

“Tentu banyak formulasi yang bisa kita pelajari dari pengalaman berbagai negara. Dan kemudian itu kita adaptasikan dengan kondisi bangsa ini,” kata Melki usai acara HUT ke-10 Partai Perindo di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (14/12/2024) malam, dikutip dari Pos-Kupang.

Ia menuturkan, belajar dari sejumlah negara itu perlu dilakukan agar Indonesia memperoleh praktik baik, yakni Pemilu yang berbiaya rendah, tetapi tidak menggerus demokrasi. Pasalnya, dengan Pilkada berbiaya tinggi yang saat ini bergulir, calon kepala daerah yang menang maupun yang kalah akan pusing dan memiliki beban.

“Kita butuh sistem politik yang demokratis, pasti. Tapi dia harus efektif, efisien, dan tidak berbiaya tinggi. Semua partai mengalami dari Pileg, Pilpres, Pilkada kemarin memang harus diakui bahwa sistem Pilkada kita ini berbiaya mahal dan menguras banyak energi,” tutur dia.

Kendati demikian lanjut Melki, usulan ini perlu dikaji lebih mendalam agar format yang diubah tetap tenang dan rasional, serta sesuai keadaan Indonesia.

“Kita mungkin harus merapikan kembali, sekali lagi diskusinya harus dengan tenang, dengan rasional, dengan berbagai tokoh, berbagai kalangan sehingga dapatkan rumusan yang tepat,” jelas dia.

Dipilih DPRD

Presiden Prabowo Subianto melempar wacana kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih DPRD. Sebagaimana yang diterapkan di negara lain, sistem itu dinilai lebih efisien dan tak menelan banyak biaya.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo di pidatonya di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Sentul, Kamis (12/12/2024) malam.

Prabowo menyebut hal itu turut menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara dalam menggelar Pilkada. Dia juga menyatakan uang anggaran untuk Pilkada itu bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting bagi masyarakat.

“Efisien enggak keluar duit kayak kita kaya, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” ucap Prabowo.

“Ini sebetulnya begitu banyak ketum parpol di sini. Sebenarnya kita bisa putuskan malam ini juga, gimana?” imbuhnya.

Prabowo kemudian menyinggung mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kontestan di gelaran pilkada. Ketua Umum Partai Gerindra itu menyatakan bahwa harus ada perbaikan sistem yang harus dibenahi bersama.

“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga. Yang menang lesu, apalagi yang kalah,” ujar Prabowo

“Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing,” tambahnya.

Parpol Setuju

Menyikapi usulan Prabowo itu, sejumlah partai menyatakan setuju. Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid mengatakan, pihaknya sepakat dengan ide dan gagasan yang disampaikan Prabowo untuk memperbaiki sistem politik Indonesia.

“Kami mendukung gagasan Presiden Prabowo. Sudah saatnya kita perbaiki sistem politik kita yang berbiaya tinggi,” kata Gus Jazil, kepada wartawan Jumat (13/12).

Mantan Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan, sebenarnya apa yang disampaikan Prabowo itu sejalan dengan sikap Fraksi PKB selama ini yang juga mengusulkan perbaikan sistem politik. “Kami sudah berkali-kali menyampaikan pentingnya perbaikan sistem politik,” ujar Gus Jazil.

Satu di antaranya terkait pemilihan gubernur yang cukup dipilih oleh DPRD. Selama ini, kata Gus Jazil, pihaknya mengusulkan agar pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD provinsi, bukan dipilih langsung oleh rakyat.

Sebab, otonomi daerah sejatinya berada di kabupaten/kota. Selama ini, gubernur hanya menjalankan fungsi koordinasi. Jadi, gubernur bisa dipilih DPRD. “Selain pemilihan gubernur itu berbiaya tinggi, sejatinya otonomi daerah itu ada di kabupaten/kota,” ucapnya.

PKB juga mengusulkan pemisahan antara pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Selama ini, pileg kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat karena publik lebih fokus pada pemilihan presiden.

“Pilpres dan pileg perlu dipisahkan, sehingga pileg juga mendapatkan perhatian. Jadi pileg dulu baru kemudian pilpres,” paparnya.

Senada dengan PKB, Partai Golkar juga setuju dengan usulan Prabowo itu. “Hari ini pun Golkar sudah memulai kajiannya. Kita sudah memulai kajian tentang sistem politik, baik itu sistem pemilu maupun sistem pemilukada,” kata Sekjen Partai Golkar Muhammad Sarmuji, usai acara puncak perayaan HUT ke-60 Tahun Partai Golkar, di SICC, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12) malam.

Sarmuji mengatakan pihaknya butuh waktu untuk menyusun kajian mengenai perubahan sistem politik di Indonesia. Namun, Golkar setuju bahwa pilkada langsung yang diterapkan saat ini memerlukan biaya tinggi.

“Ketua Umum Partai Golkar sudah menginisiasi dan menyuarakan. Kalau Pak Prabowo tadi bahkan sampai berkomentar, Pak Presiden di arahannya ini kalau sebenarnya bisa kita putuskan di forum ini karena banyaknya ketua umum partai,” ujarnya.

“Artinya sebenarnya ini sudah menjadi kegalauan bersama kerisauan bersama,” tandasnya.

Sedangkan Ketua DPP PDIP, Ganjar Pranowo, meminta usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota, ke DPRD perlu dikaji secara mendalam. “Sebaiknya dikaji dulu dengan mendalam,” kata Ganjar saat dikonfirmasi, Jumat (13/12).

Ganjar menjelaskan, sistem Pilkada secara langsung yang diterapkan saat ini sebelumnya diadopsi untuk mengatasi berbagai persoalan dalam mekanisme pemilihan melalui DPRD.

“Dulu dilakukannya Pilkada langsung karena ada problem saat pemilihan di DPRD. Ada argumen tidak merepresentasikan kehendak rakyat, terjadi jual beli dukungan,” ujarnya.

Karenanya, dia menyarankan agar seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam pembahasan terkait perubahan sistem pemilihan. “Maka kalau sekarang muncul pikiran lain sebaiknya undang pemangku kepentingan. Ojo kesusu,” ucap Ganjar.

Menurut Ganjar, apapun sistem yang dipilih, efektivitasnya sangat bergantung pada integritas pemangku kepentingan dan penegakan aturan.

“Mau sistem apapun yang akan dipakai kalau masing-masing dari pemangku kepentingan tidak mau ikut aturan atau penegak aturannya lemah, maka hasilnya akan buruk,” ucap mantan Gubernur Jawa Tengah itu.

Ganjar mengungkapkan, hingga saat ini belum ada pembahasan terkait isu tersebut di internal PDIP. “Belum ada pembicaraan di internal kami. Tentu PDIP tidak reaktif. Maka saya mengingatkan,” tegasnya.

Sementara Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Pemenangan Pemilu Deddy Sitorus menegaskan, partainya tetap menginginkan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Dia menilai, wacana yang diucapkan Presiden Prabowo terkait pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan mengambil hak rakyat untuk secara langsung menentukan pemimpin daerahnya.

“Pada prinsip yang kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan rakyat di tangan rakyat, one man, one vote,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (13/12).

Deddy mengatakan, alasan pilkada berbiaya mahal juga tak bisa dibenarkan sepenuhnya. Ia menilai, pilkada berbiaya mahal dikarenakan elite politik yang memiliki uang ingin jalan pintas memperoleh elektoral yang kuat. “Jadi jangan hanya menyalahkan rakyat biaya mahal, karena yang menyatukan uang itu kan memang dari elite politik sendiri,” ucapnya.

Namun Deddy menegaskan, sikap resmi PDI-P akan dikeluarkan setelah penyusunan draf revisi Undang-Undang Pilkada mulai dibahas di parlemen.

Politikus Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menyatakan, wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah lama menjadi pembahasan. Wacana-wacana terkait mekanisme pemilihan kepala daerah akan terus bergulir hingga mendapatkan formula terbaik.

“Ya, wacana terkait pemilihan gubernur dipilih oleh DPRD itu sudah lama ya. Jadi, kita dalam sejarah bangsa ini pernah pemimpin daerah itu ditunjuk oleh Presiden, pernah dipilih oleh DPRD, dan pernah langsung juga dipilih oleh rakyat seperti sekarang,” ujar Riza di Jakarta International Expo, Sabtu (14/12/2024).

Wakil Menteri Desa ini menyebutkan, pilkada secara langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang besar. Baca juga: Respons Pramono Anung-Rano Karno soal Evaluasi Sistem Pilkada Padahal, menurut Riza, ada kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi seperti pendidikan, kesehatan, infrastuktur, dan pangan.

“Anggaran Pilkada itu luar biasa besar, dan jika dialihkan untuk kepentingan lain, manfaatnya akan dirasakan langsung oleh rakyat,” kata mantan wakil gubernur Jakarta ini.

Komisi II DPR RI Sepakat

Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan sepakat jika gubernur dipilih oleh DPRD. Namun, ia mengusulkan agar bupati dan wali kota tetap dipilih langsung oleh rakyat. “Pertimbangannya adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi untuk bupati dan wali kota, lebih baik tetap dipilih secara langsung,” ujar Irawan dalam keterangan, Sabtu (14/12/2024).

Ia menjelaskan bahwa asas itu sebenarnya terdapat dalam Pasal 18 Ayat (2) dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis sebagai wujud desentralisasi politik.

Namun, dalam asas desentralisasi politik itu, lanjut dia, fungsi otonomi daerah melekat pada bupati dan wali kota. Merawat Bahasa, Mengukuhkan Bangsa Artikel Kompas.id “(Pemerintah) provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” ucap dia.

Bagi Irawan, aturan itu bisa dimaknai bahwa pilkada dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung, dan hal itu tidak melanggar konstitusi serta demokrasi. Pasalnya, anggota DPRD juga dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan legislatif (pileg).

“Maka, dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada atau tidak langsung melalui DPRD provinsi/kabupaten/kota, itu juga sama demokratisnya dan masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” paparnya. {}