Berita Golkar – Kunjungan Atalia Praratya ke Sentra Abiyoso Cimahi mengungkap potret pendidikan alternatif yang lebih manusiawi bagi anak-anak yang kerap terabaikan, baik oleh keluarga maupun negara.
Dalam kegiatan tersebut, Atalia menekankan pentingnya menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dan 4 Pilar Kebangsaan sebagai landasan dalam membangun karakter generasi muda.
“Alhamdulillah kami hadirkan juga Prof Deni, itu adalah bagaimana kita mendorong masyarakat memahami dan juga mengamalkan inti sari pengamalan Pancasila dan 4 Pilar tersebut,” ucap Atalia pada awak media usai Kunjungan, Kamis (31/7/2025), dikutip dari JabarEkspres.
Kunjungan itu sekaligus menjadi ajang monitoring terhadap keberadaan Sekolah Rakyat di Cimahi, yakni SRMA O8, yang saat ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan berbasis Sentra milik Kementerian Sosial di wilayah tersebut.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI itu, sekolah ini bukan sekadar tempat belajar, melainkan ruang kehidupan yang mendidik anak-anak dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
“Di sini saya melihat bagaimana anak-anak dimanusiakan, dalam arti mereka diberikan tempat yang layak dari mulai tempat tidur yang nyaman, bersih, rapi, kamar mandinya bersih layak, termasuk mereka dibiasakan kebiasaan-kebiasaan baik,” jelasnya.
Anak-anak di sekolah rakyat ini mendapatkan hak dasar secara utuh, seperti makan tiga kali sehari, camilan, ruang makan yang nyaman, aula pelatihan, hingga ruang teater.
Fasilitas ini dianggap Atalia sebagai bukti kehadiran negara yang konkret untuk memangkas jalur kemiskinan dan memberi ruang tumbuh kembang bagi anak-anak yang kerap tak punya tempat di sistem pendidikan formal.
“Ini penting sekali bagaimana mereka yang selama ini terabaikan, tidak hanya oleh kita semua, tetapi juga oleh keluarganya. Di rumah mereka itu dihuni tidak hanya satu keluarga saja,” tambah politikus fraksi Golkar tersebut.
Namun, Atalia memberikan catatan penting kepada pengelola Sentra. Menurutnya, program rehabilitasi sosial (rehabsos) sebagai bagian dari fungsi Sentra tidak boleh terpinggirkan.
“Catatan saya atau titipan kepada pengelola agar supaya khususnya terkait rehabsos tidak terabaikan. Dua-duanya harus berjalan beriringan,” tegas Atalia.
Isu tentang kapasitas ruang belajar di sekolah umum juga turut disoroti. Menurutnya, pembelajaran dalam kelas yang diisi lebih dari 50 siswa bukan hanya tak ideal, tapi juga tidak manusiawi.
“Bahwa saya menyaksikan sendiri bahwa ternyata, 25 orang satu kelas itu adalah sangat manusia. Paling banyak 36 itu sudah berdasarkan kajian aturan kementerian,” ungkapnya.
Ia menilai situasi kelas di sekolah umum yang terlalu padat berisiko menurunkan kualitas pembelajaran dan kesejahteraan psikologis anak.
“Bagaimana mungkin anak-anak bisa nyaman kalau mereka duduk berhimpitan, belum gerahnya, belum aktivitasnya,” ujar Atalia.
Ia bahkan mendorong adanya refleksi dari pihak sekolah umum, agar tidak mengklaim sistem mereka sudah sempurna tanpa melakukan perbandingan atau evaluasi.
“Silakan saling mempelajari mana yang lebih baik, tentu itu yang harus kita sesuaikan. Jadi jangan merasa bahwa ini sesuatu hal yang sempurna sebelum kita kemudian melakukan perbandingan dengan hal lain,” tuturnya.
Dalam penutup pernyataannya, Atalia menyampaikan empati terhadap guru-guru di sekolah umum yang kerap kewalahan menangani jumlah murid yang besar.
“Saya katakan diskusikan pada gurunya. Saya mendengar banyak mendapatkan masukan curhatan dari para guru yang mereka kerepotan. Bayangkan ngurus anak yang 25 itu saja repot apalagi dua kali lipat, apalagi di masa-masa mereka itu adalah usia remaja. Tolonglah dipikirkan bukan urusan kuantitas tapi kualitas,” pungkasnya. {}