Berita Golkar – Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengambil langkah korektif dalam pengelolaan Reforma Agraria dengan menata ulang kebijakan kepemilikan dan penguasaan tanah agar lebih berkeadilan. Penataan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya negara memastikan pengelolaan sumber daya agraria benar-benar berpihak pada pemerataan dan kemakmuran rakyat.
Dalam konteks tersebut, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan bahwa pemerintah secara sadar menahan laju pemberian Hak Guna Usaha (HGU). Selama satu tahun terakhir, Nusron belum menandatangani permohonan baru, perpanjangan, maupun pembaruan HGU, sebagai bentuk kehati-hatian sekaligus evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola agraria nasional.
“Ini terkait penyelesaian Reforma Agraria, belum satu pun saya tanda tangan. Saat ini di meja saya sudah ada total 1.673.000 hektare HGU untuk permohonan baru, perpanjangan maupun pembaruan. (Penundaan) karena kami ingin menata kembali ini,” ujar Nusron Wahid dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Nusron menekankan bahwa prinsip utama dalam Reforma Agraria harus kembali diletakkan pada asas keadilan dan pemerataan. Pengelolaan tanah tidak boleh semata-mata berorientasi pada kepentingan ekonomi berskala besar, melainkan harus memberi ruang yang adil bagi masyarakat.
Prinsip tersebut, lanjut Nusron, sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Jika kita lihat definisi pemerataan, konsep Reforma Agraria ini kemudian ditata kembali sehingga mampu mengurangi gini rasio kita. Hal ini supaya tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat yang berpendapatan tinggi maupun rendah. Inilah kenapa pemerintah belum mau tanda tangan HGU untuk saat ini,” kata politisi Partai Golkar tersebut.
Selain kebijakan moratorium HGU, Kementerian ATR/BPN juga memperkuat koordinasi lintas kementerian, khususnya dengan Kementerian Kehutanan, untuk menyelesaikan persoalan tapal batas antara kawasan hutan dan Area Penggunaan Lainnya (APL). Langkah ini dinilai krusial karena konflik agraria kerap bermula dari ketidakjelasan batas wilayah.
Menurut Nusron, tidak sedikit lahan yang sejak lama dimanfaatkan secara produktif oleh masyarakat justru belakangan diklaim sebagai kawasan hutan akibat persoalan peta dan batas wilayah yang belum tuntas.
“Kita mulai selesaikan batas-batas kawasan hutan dan batas APL ini, kita cicil di provinsi yang low intensity conflict dulu. Ini seperti kasus klaim kawasan hutan. Kenapa ini terjadi? Karena petanya belum jelas,” ujar Nusron.
Langkah penataan ulang Reforma Agraria ini mendapat dukungan dari kalangan masyarakat sipil. Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan apresiasinya terhadap kebijakan moratorium HGU serta upaya percepatan penyelesaian konflik agraria yang tengah ditempuh pemerintah.
“Tentu kita ingin mengharapkan adanya percepatan penyelesaian konflik dari Kementerian ATR/BPN. Juga soal kehutanan (penetapan tapal batas) itu hingga moratorium (HGU) dari Kementerian ATR/BPN,” ujar Iwan Nurdin.













