DPD 1  

Ace Hasan Pastikan Beringin Kokoh dan Kader Partai Golkar Tahan Godaan Uang

Berita Golkar – Kemarin, Ketua DPD I Golkar Jawa Barat, Ace Hasan Syadzily datang sebagai tamu dalam podcast perdana, Ngegas Di Rakyat Merdeka. Acara bertajuk “Benarkah Beringin Sudah Kokoh” ini, dipandu 2 editor politik Rakyat Merdeka, Ujang Sunda dan Siswanto.

Dalam obrolan yang berlangsung hampir 1 jam itu, Ace memastikan kondisi Golkar dalam keadaan solid. Menurutnya, kader yang waras pasti akan fokus pada Pemilu 2024 yang tinggal hitungan hari, ketimbang mendorong terjadinya Musyarawah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Ace juga mengungkap, seluruh pengurus DPD I Golkar yang berkumpul di Nusa Dua, Bali, pada Minggu (30/7) malam, menyatakan solid mendukung kepemimpinan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan menolak wacana Munaslub.

“Jadi sudah tertutup pintu bagi Munaslub. Karena 38 DPD tingkat I sudah menolaknya. Munaslub hanya bisa diusulkan oleh 3/4 pengurus DPD tingkat I,” kata Ace.

Benarkah sesolid itu Golkar membendung isu Munaslub yang dihembuskan oleh segelintir kader senior itu? Bagaimana kalau ada tawaran yang menggiurkan untuk mendorong terjadinya Munaslub? Berikut wawancara dengan Ace:

Pasca pertemuan 38 pengurus DPD I Golkar di Bali, Beringin benar-benar kokoh?

Insya Allah, Beringin sebagai partai tua, punya pengalaman panjang, menjelang Pemilu 2024, kami semakin solid. Akarnya sudah sangat kuat. Kami tetap kokoh.

Dengan pertemuan di Bali, apa sudah menjamin isu Munaslub langsung meredup?

Sebagi pemilik suara, 38 DPD I Provinsi Partai Golkar setelah bertemu dengan Pak Airlangga, tegas menolak wacana Munaslub yang digulirkan segelintir pihak.

Mestinya, untuk menghadapi Pemilu yang kurang dari 200 hari, energi seluruh kader fokus untuk pemenangan Beringin.

Lagian kita masih waras, masa mau Pemilu ada Munaslub. Harusnya, fokus memenangkan Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Bukan malah dipecah belah. Ini akan mempengaruhi stabilitas partai.

Ada yang Anda curigai di balik menggelindingnya isu Munaslub ini?

Ada pihak yang mengatasnamakan elemen partai, tapi saya tak tahu menahu siapa yang pertama kali menggoyang kursi Golkar 1 lewat isu Munaslub. Bisa jadi, isu liar ini dilontarkan oleh pihak tertentu yang merasa dapat bekingan dari sosok yang mau jadi Ketum.

Bukankah bisa saja, pendorong Munaslub ini masih kasak-kusuk mencari dukungan…

Mending yang mendorong Munaslub, menunjukkan kerja nyata membesarkan Beringin. Yang mau jadi Ketum juga, mending energinya dipakai untuk membesarkan Golkar. Tunjukkan basis suaranya dong. Baru silakan bertarung di Munas 2024. Toh, yang menggulirkan isu ini, sudah dipanggil juga oleh Dewan Etik.

Menurut Anda, saat ini tidak relevan untuk mendorong pergantian ketua umum lewat Munaslub?

Munaslub harus ada syaratnya. Harus ada kegentingan memaksa. Kan Golkar saat ini biasa saja. Tidak ada syarat yang menyebutkan genting itu. Jadi tak perlu ada pergantian kepemimpinan di Beringin. Selain itu, harus ada usulan dari DPD, minimal 3/4, atau berarti 26 DPD I.

Ini tahun politik, godaan politiknya juga kencang loh. Bisa saja, kader tergoda bila ada tawaran yang menggiurkan…

Godaan uang dalam suksesi kepemimpinan memang harus diantisipasi, tapi saya menyakini DPD di bawah punya modal politik yang cukup. Jadi tak akan tergoda. Kekuatan modal finansial bukan utama lah.

Yakin tahan godaan? Kan buat nyaleg butuh modal besar loh…

Insya Allah, DPD Golkar tahan godaan. Nggak mungkin kita yang sudah bekerja siang-malam, mau merusak itu semua hanya ada godaan finansial.

Bagaimana dengan survei yang menyebut suara Golkar terus anjlok?

Saya tanya, survei yang mana dulu. Memang ada survei yang bilang suara Golkar sudah tinggal 1 digit, tapi ada juga yang bilang suara Golkar masih stabil. Bahkan, ketika dulu sempat terjadi dualisme, suara Golkar di survei dibilang tinggal 3,4 persen. Buktinya, kita tetap di peringkat teratas. Jadi, alasan survei partai dan Pak Airlangga yang disebut merosot juga tidak rasional. Buktinya Golkar masih kuat kok.

Bagaimana antisipasi dualisme kepengurusan seperti 2014?

Tahun 2014 dan Pemilu 2024, itu dua momentum yang berbeda. Di tahun 2014, dualisme terjadi setelah Pilpres selesai. Siapa pun, saat itu, butuh Partai Golkar untuk stabilitas Pemerintahan. Secara momentum, ini tidak terlalu merusak perjuangan partai untuk menghadapi Pemilu, kan masih 2019.

Toh pada akhirnya solid juga. Terjadi Munas rekonsiliasi di Bali. Jadi momentumnya beda. Kalau sekarang Munaslub, ya rusak partai. Hari ini harusnya solid memenangkan Golkar dari pusat hingga ke TPS-TPS.

Setelah isu Munaslub redup, apa yang dilakukan Golkar ke depan?

Keputusan Munas, Rakernas, hingga Rapimnas, telah memutuskan program yang akan dijalankan untuk memenangkan Golkar.

Termasuk soal Pilpres, konfigurasi Capres-cawapres, mandatnya ada di Pak Airlangga. Kalau dibilang terlambat, apa memang ada yang sudah fix? Kan masih sangat dinamis. Belum ada konfigurasi fix soal Pilpres. Dugaan saya, last minute.

Benarkah sekarang Golkar sudah nggak ngotot lagi Airlangga jadi Capres atau Cawapres?

Sebaiknya memang Pak Airlangga yang maju, tapi harus realistis. Maka, kami serahkan ke beliau untuk menentukan. Termasuk soal strategi penjajakan, manuver dan aktivitas politik bertemu dengan partai lain. Karena Golkar tidak bisa sendirian kan.

Intinya kami beri mandat ke Pak Airlangga untuk mengambil langkah soal Pilpres. Kalau aspirasi dari kader soal capres, ya silakan saja. Tetap yang memutuskan Pak Airlangga.

Katanya pilihan politik Golkar sudah mengerucut pada dua nama. Ke Ganjar atau ke Prabowo…

Ya, yang tahu Pak Airlangga. Termasuk masih komunikasi dengan partai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). PAN dan Golkar sering ketemu. Juga soal kemungkinan poros keempat. Kembali lagi, Pak Airlangga yang akan menentukan berbagai kemungkinan, tapi memang, kita pasti berada dalam koalisi pada Capres yang berasal dari Pemerintah.

Berarti pintu untuk koalisi ke poros Anies sudah tertutup?

Kelihatannya, chemistry-nya nggak ketemu. Kan Golkar ingin melanjutkan pembangunan dan legacy Presiden Jokowi. Dua periode mendukung, tiba-tiba memiliki sikap diametral, mendukung yang mengusung perubahan. Kan, artinya tidak konsisten. Jadi, itu salah satu alasannya kita tidak ketemu dengan koalisi Anies. {sumber}