DPP  

Adies Kadir Harap Penghapusan PT 20 Persen Tak Ciptakan Carut Marut

Berita Golkar – Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Adies Kadir menyatakan pihaknya merasa terkejut dengan adanya ketetapan Mahkamah Konstitusi RI (MK) terhadap penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold.

Pasalnya kata Adies, sudah berapa banyak gugatan terkait dengan ambang batas sebelumnya selalu ditolak. Namun, baru kali ini gugatan serupa dikabulkan hakim MK.

“Putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah kado yang mengejutkan di awal tahun 2025 di mana setelah puluhan gugatan, kalau tidak salah sekitar 32 atau 33 gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi selama ini selalu ditolak dan kemudian kali ini satu gugatan, kalau tidak salah nomor 62 PU itu dikabulkan,” kata Adies saat ditemui di kawasan Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta, Jumat (3/1/2025), dikutip dari Tribunnews.

Meski demikian, Ketua Umum Organisasi Masyarakat (Ormas) pendiri Partai Golkar, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) itu menyatakan, pihaknya akan menaati apa yang menjadi keputusan MK. Terlebih, putusan MK bersifat final dan mengikat serta harus ditaati.

“Kami akan taat dan patuh atas keputusan tersebut kami akan mengikuti segala keputusan yang telah diambil oleh hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi,” ucap dia.

Wakil Ketua DPR RI tersebut menyatakan, terhadap keputusan ini diharapkan menjadi angin segar baru bagi proses demokrasi di Indonesia.

“Mudah-mudahan keputusan ini memberikan angin segar kepada sistem demokrasi perpolitikan di negara kita, negara Republik Indonesia, harapan kami seperti itu,” ujar dia.

Jangan sampai kata dia, yang terjadi justru sebaliknya yakni terjadi carut-marut baru saat proses Pilpres mendatang.

Pasalnya, dengan ada keputusan ini, setiap partai politik peserta pemilu memiliki hak untuk bisa mencalonkan capres-cawapres tanpa harus memperhatikan ambang batas dan perolehan kursi di Pileg 2024 lalu.

“Bukan nantinya malah membuat carut-marut baru, membuat persoalan baru di sistem demokrasi Indonesia kita mudah-mudahan dengan ada putusan tersebut sistem kita, demokrasi kita akan bisa semakin baik,” tandas dia.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. {}