Adies Kadir Minta Kedepankan Restorative Justice Jadi Solusi Atasi Over Kapasitas Lapas

Berita GolkarWakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyoroti masalah over-kapasitas di lembaga pemasyarakatan, khususnya untuk narapidana kasus narkoba. Kondisi ini, kata Adies, menimbulkan tekanan besar terhadap sistem pemasyarakatan dan memerlukan solusi segera.

“Koordinasi antar-aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, diperlukan untuk mencari pendekatan yang lebih efektif dalam menangani kasus narkoba. Alternatif seperti rehabilitasi bagi pengguna narkoba dan penyederhanaan proses hukum untuk pelanggaran ringan, perlu dipikirkan agar menjadi bagian dari strategi untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan,” kata Adies dalam keterangannya kepada Parlementaria, di Jakarta, Senin (6/1/2025), dikutip dari laman DPR RI.

Adies menilai penerapan hukuman kerja sosial dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang terbatasnya kapasitasnya. Upaya ini, kata Adies, memungkinkan pelaku kejahatan untuk menjalani hukuman tanpa membebani sistem pemasyarakatan, sekaligus memberikan dampak rehabilitatif yang lebih positif.

“Melalui kerja sosial, pelaku dapat memahami pentingnya tanggung jawab sosial dan berkesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat ikut serta memberikan kontribusi langsung bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian, hukuman kerja sosial menjadi bagian penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan rehabilitatif,” kata Adies.

Politisi Fraksi Partai Golkar ini pun menjelaskan penegakan hukum berbasis restorative justice di Indonesia juga menjadi alternatif dalam penyelesaian perkara hukum, terutama untuk kasus-kasus ringan yang lebih baik diselesaikan melalui pendekatan dialogis.

Konsep ini, kata Adies, menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta menghindari hukuman formal yang sering kali membawa dampak negatif bagi semua pihak.

“Namun, penerapan restorative justice di Indonesia masih berjalan secara sektoral, tergantung pada kebijakan masing-masing institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan. Akibatnya, pendekatan ini belum terintegrasi secara menyeluruh dalam sistem peradilan, sehingga penerapannya sering kali inkonsisten dan kurang efektif,” urainya.

Hingga saat ini, lanjut Adies, pendekatan ini hanya diatur melalui pedoman internal dari lembaga penegak hukum, seperti Surat Edaran Kapolri, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan mahkamah Agung, yang bersifat terbatas. Hal ini menciptakan ruang abu-abu dalam penerapan, termasuk potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.

“Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan regulasi nasional yang mengatur restorative justice secara komprehensif, dengan memperjelas kriteria, mekanisme, dan pengawasan prosesnya. Regulasi ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum, tetapi juga memastikan penerapan yang adil, transparan, dan konsisten di seluruh tingkatan peradilan,” pungkasnya. {}