Berita Golkar – Di penghujung jabatan, Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia mewacanakan perlunya amandemen ke-5 Undang-Undang Dasar (UUD). Alasannya, demi mewujudkan cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.
Politisi Partai Golkar ini membuat siaran pers berjudul ‘Ahmad Doli Kurnia: Perlu Amandemen UUD 1945 Menuju Indonesia Emas’, yang dirilis Sabtu (14/9/2024).
Dalam tulisannya, Doli menyuarakan beberapa pertimbangan perlunya amandemen UUD 1945. Kata dia, sekarang ini sudah waktunya menggulirkan amandemen kelima. Tujuannya, agar cita-cita Indonesia Emas 2045 terwujud.
“Sebetulnya hari ini ketemu momentumnya kalau kita mau mengubah, mau menata ulang, atau menyempurnakan sistem kita,” kata Doli, mengawali keterangan rilisnya yang dibagikan kepada awak media.
Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan Doli bahwa UUD ’45 perlu diamandemen. Misalnya, berkaitan dengan waktu. Dia menjelaskan, UUD 1945 terakhir kali diamandemen pada 10 Agustus 2002. Itu merupakan amandemen ke-4 bagi konstitusi.
“Pertama, kita ini sudah masuk tahun ke-26 reformasi. Jadi sangat wajar sebenarnya kita sudah mulai berani membicarakan hal-hal yang fundamental tentang ketatanegaraan kita,” kata Doli dalam siaran pers yang dibagikan ke wartawan, kemarin.
Pertimbangan berikutnya, yakni momentum baru Pemilu. Doli berpandangan, pembenahan sistem Pemilu tidak akan maksimal jika dilakukan secara mendadak. Membenahinya harus jauh-jauh hari. Bukan mendekati masa Pemilu. “Perubahan sistem mendekati Pemilu bisa menimbulkan multitafsir,” ucapnya.
Kini, sambung politisi asal Sumatera Utara itu, Pemilu 2024 sudah berakhir. Amandemen nantinya tidak terbatas pada diskursus pengembalian UUD 1945. “Kita sempurnakanlah apa yang kurang segala macam, sesuai tantangan hari ini dan 25 tahun ke depan, Indonesia emas itu,” ajak Doli.
Dia lantas teringat dengan sentilan dari Presiden terpilih Prabowo Subianto mengenai sistem demokrasi di Indonesia. Mengulas ucapan Prabowo, Doli sepakat jika demokrasi di Indonesia disebut melelahkan. Karena itu, perlu diperbaiki.
“Makanya, saya termasuk orang yang berjuang mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945,” ungkap Doli.
Dia menangkap tinjauan elite-elite politik nasional mengenai demokrasi di Indonesia. Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, disebutnya pernah mengulas bahwa demokrasi Indonesia melelahkan. Maka demokrasi ini, menurut Doli, perlu diperbaiki.
Politisi berusia 53 tahun itu juga menukil pernyataan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpandangan bahwa demokrasi di negara ini mahal. Maka amandemen diperlukan. “DPR dan Pemerintah mesti melakukannya,” imbuh dia.
Doli juga mendengar beberapa putusan pengadilan mengenai sistem kepemiluan di Tanah Air. Seperti putusan ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala pemerintahan.
“Semuanya itu, baik yang dissenting opinion maupun keputusannya, mereka (majelis hakim) mengatakan bahwa perubahan ini harus dibuat oleh pembuat undang-undang, DPR dan Pemerintah,” jelasnya.
Dengan kata lain, sadar Doli, lembaga yudikatif memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk berpikir bagaimana caranya memperbaiki tata kelola kepemiluan. “Itu yang saya tangkap dari pesan semua keputusan dari Mahkamah Konstitusi kemarin,” tegas politisi jebolan Universitas Padjajaran itu.
Terpisah, NasDem menyambut positif usulan Doli. Menurut Ketua DPP Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago, amandemen juga bisa menyasar pada pasal-pasal yang telah dievaluasi selama empat kali. “Tetapi perlu kejelasan dan penjelasan yang konkret, pasal-pasal apa saja yang perlu diamandemen dan alasan kenapa harus diamandemen,” ucap Irma dikutip dari Rakyat Merdeka.
Irma juga mengingatkan, jangan sampai amandemen UUD digunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan. “Apalagi bagi kelompok yang sedang berkuasa,” lanjut Irma mengingatkan.
Senada, menurut politisi PDIP, Hendrawan Supratikno, partainya sudah lama menyuarakan amandemen UUD ’45. PDIP pernah mengusulkan amandemen terbatas agar MPR berhak menetapkan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). Tujuannya, agar pergantian kepemimpinan nasional selalu merupakan rangkaian proses yang berkelanjutan sesuai dengan spirit dasar dan iddologi negara, yaitu Pancasila.
Dia menceritakan, sejak MPR dipimpin Taufik Kiemas periode 2009-2013, sudah dilakukan kajian untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan yang dalam praktik menimbulkan sejumlah ketidakjelasan dan ketidakpastian.
“Namun, usulan amandemen selalu jadi rekomendasi tetap MPR (2014, 2019 dan 2024), karena belum ada momentum yang mendorong kuat ke arah itu,” tutur Hendrawan.
Sementara, Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan angkat tangan apabila pimpinan MPR periode 2019-2024 dipaksa mengamandemen UUD 1945. Sebab, kepemimpinan MPR era Bambang Soesatyo sebentar lagi purnatugas.
“Silakan ajukan pada periode MPR berikutnya dan sesuai dengan Pasal 37 yang tertera di UUD 45 tentang amandemen. MPR sekarang sudah memutuskan tidak bisa dilakukan amandemen,” tandas Wakil Ketua MPR Fraksi Demokrat itu.
Adapun isu amandemen kelima ini beberapa kali mencuat, tapi timbul-tenggelam. Walaupun, sejumlah pimpinan MPR telah melakukan berbagai manuver, tetap saja rencana amandemen selalu kandas.
Hingga akhirnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) bertemu dengan Presiden Jokowi. Pada pertemuan ini kemudian isu amandemen dinyatakan tutup buku. Alasannya MPR tidak diperbolehkan melakukan amandemen UUD 1945 jika masa bakti kurang dari enam bulan. Amandemen UUD 1945 akan bisa dilaksanakan dan diteruskan oleh MPR periode berikutnya.
Di sisi lain, pakar hukum tata negara (HTN) dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM, Radian Syam menilai pimpinan MPR sekarang masih bisa melakukan amandemen kelima. Asalkan, proses pengusulan dan pembahasan dilakukan dengan tepat dan sesuai prosedur.
“Namun, proses amandemen biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Mengingat adanya perdebatan tentang substansi yang diusulkan, dukungan dari berbagai fraksi, dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik,” tukas Radian Syam.
Bagaimana dengan peluang amandemen di periode selanjutnya, menurut Radian, tergantung pada tiga faktor. Yakni konsensus politik di antara partai-partai di Parlemen, termasuk di MPR. Kemudian tingkat urgensi dari perubahan yang diusulkan. Terakhir, respon masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan.
“Jadi, peluang amandemen kelima tetap terbuka. Akan tetapi keberhasilannya akan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik, konsensus antar fraksi, serta seberapa besar dorongan dari masyarakat dan aktor politik terkait kebutuhan perubahan konstitusi tersebut,” pungkasnya. {}