DPP  

Airlangga Hartarto Dan Prabowo Subianto, Dari Melankolia Koalisi Hingga Memutus Mata Rantai Kekalahan

Berita GolkarSejarah selalu berulang meski dengan subjek yang berbeda. Bahkan dalam kasus Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia pengulangan sejarah akan selalu terbuka. Tentu subjeknya sudah berbeda, kini tiada lagi nama Joko Widodo yang bakal berlaga di Pilpres 2024. Namanya berganti, hanya saja ia dari figur partai yang sama, PDIP. Ada nama Ganjar Pranowo yang dianggap sebagai suksesor Jokowi.

Sementara dari sisi lainnya, nama dan partainya masih sama, ada figur Prabowo Subianto yang bakal bertarung kali ketiga jika pada Pilpres 2024 ia kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden. Hanya saja Prabowo kemungkinan akan didampingi oleh figur Cawapres yang berbeda.

Jika sebelumnya pada Pilpres 2014 ia didampingi oleh Hatta Rajasa sebagai Cawapres dan di Pilpres 2019 ada nama Sandiaga Uno. Bagaimana dengan Pilpres 2024? Ada beberapa nama yang digadang akan menjadi pendamping Prabowo Subianto, dua di antaranya adalah Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Keduanya merupakan pucuk pimpinan tertinggi dari dua partai raksasa tanah air.

Airlangga Hartarto adalah Ketua Umum Partai Golkar, pemilik kursi DPR RI kedua terbesar setelah PDIP. Dan Muhaimin Iskandar merupakan pimpinan tertinggi PKB, partai yang identik dengan suara kaum nahdliyin Ormas Islam terbesar di Indonesia. Kedua figur ini menjadi tokoh yang paling berpotensi mendampingi Prabowo Subianto sebagai Capres.

Belakangan, dorongan agar Prabowo Subianto mengambil Airlangga Hartarto sebagai pendamping untuk berlaga di Pilpres 2024 menguat. Alasan yang mengemuka tak lain adalah mesin politik kedua partai. Gabungan Partai Gerindra dan Partai Golkar dalam kolaborasi di satu arena pertarungan tentu akan menggetarkan siapapun lawan di hadapan.

Jika lawan di hadapan adalah Ganjar Pranowo, PDIP tentu tak ingin duet menakutkan ini terbentuk. Baik Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto memiliki loyalis yang tak mudah ditundukkan lawan politik. Akar rumput kedua partai saling melengkapi keberadaannya. Jika Partai Gerindra kuat di kawasan perkotaan maka Partai Golkar kuat di jejaring pemilih pedesaan.

Terbaru ada pula hasil survei yang dilakukan oleh Poltracking. Lembaga ini menempatkan duet Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto sebagai pemilik suara tertinggi, kisaran elektabilitasnya ada di angka 28,8%, mengalahkan duet Ganjar Pranowo dan Sandiaga Uno dengan tingkat keterpilihan 28,3%.

Margin kemenangan bagi Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto tentu bisa lebih progresif jika mempertimbangkan bahwa belum ada deklarasi Capres. Berbeda dengan Ganjar Pranowo yang sudah dideklarasikan oleh PDIP untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan setelah dideklarasikan sebagai Capres, elektabilitas Ganjar Pranowo pun tak kunjung progresif.

Sekarang tinggal bagaimana mengutak-atik koalisi antara Partai Gerindra dan Partai Golkar, sementara keduanya secara aktual masih berada dalam dua perahu koalisi yang berbeda. Meski begitu, koalisi antara Partai Golkar dan Partai Gerindra sangat terbuka lebar, menyusul wacana koalisi besar yang sedang dirumuskan antara Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB serta PAN minus PPP yang sudah lebih dulu menyatakan dukungan pada Ganjar Pranowo.

Indikasi terbentuknya koalisi besar juga dapat terlihat dari intensitas komunikasi yang dilakukan oleh Prabowo Subianto terhadap elit politik Partai Golkar. Sesaat setelah Idul Fitri lalu misalnya, Prabowo Subianto langsung menyambangi Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar dan Airlangga Hartarto setelahnya.

Pertemuan antara Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie jelas merupakan langkah politik strategis yang coba dibangun. Jika mengingat Pilpres 2014, komunikasi antar keduanya pernah sangat rekat. Ketika itu, Aburizal Bakrie yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar mendukung pencapresan Prabowo dan Hatta untuk melawan Jokowi dan JK.

Saat itu, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa membuat payung koalisi besar yang dinamakan KMP (Koalisi Merah Putih). KMP terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PPP dan PKS. Koalisi ini mencoba melawan hegemoni Jokowi dan JK yang didukung oleh PDIP, PKB dan Partai Nasdem.

Saat itu sayangnya, Prabowo dan Hatta harus mengakui keunggulan Jokowi dan JK. KMP pun perlahan bubar, anggotanya satu per satu mencoba mendekati kekuasaan yang lantas bergabung dengan koalisi pemerintahan, termasuk Partai Golkar.

Jika mengingat saat-saat romantis antara Partai Gerindra dan Partai Golkar itu, bukan tak mungkin sejarah akan diulang kembali. Kali ini formulasi yang tercipta haruslah berbeda. Prabowo Subianto harus mengambil pendamping dari partai yang kuat secara basis suara dan dukungan. Logika mengambil Cawapres sebagai pengungkit elektabilitas harus dipinggirkan terlebih dahulu.

Paling penting adalah soliditas koalisi. Jika Partai Golkar diberi porsi lebih dan kesepakatan antara Prabowo Subianto dengan Airlangga Hartarto terjadi, bukan tak mungkin Pilpres 2024 akan menyajikan pilihan yang kompetitif dengan terwujudnya duet Airlangga – Prabowo sebagai Capres dan Cawapres.

Koalisi Merah Putih yang pernah ada pun bisa terbangun lagi dengan kekuatan yang lebih solid. Ada Partai Gerindra, Partai Golkar, sebagai elemen yang moderat. Lalu PKB serta PAN yang mewakili garis politik Islam. Koalisi besar akan mengembalikan sejarah yang pernah lekang di waktu lalu.

Ada potensi memutus nasib tak beruntung pula bagi Prabowo Subianto jika koalisi ini terwujud. Toh subjek-subjek politik yang pernah berkontribusi terhadap KMP masih ada, tentu bangunan komunikasinya akan lebih mudah. Hanya tinggal bagaimana meracik kata sepakat dengan PKB bagi Partai Gerindra dan Partai Golkar nantinya.

Satu hal lagi, jika terbentuk, selain sebagai jalan tengah, koalisi ini bisa dimanifestasikan sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan pembangunan yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi. Artinya, selain Ganjar Pranowo yang dicalonkan oleh PDIP, duet Capres Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto juga dijamin tak akan mengganggu tapak pembangunan yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi di periode sebelumnya. Semoga.

Oleh

Rezha Nata Suhandi

Pemimpin Redaksi Golkarpedia