Berita Golkar – Asosiasi Industri ramai-ramai mendukung upaya Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam menyelamatkan industri nasional dari gempuran produk-produk impor.
Salah satunya datang dari Asosiasi Aneka Industri Keramik (ASAKI). Saat dihubungi redaksi, Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto mengatakan keberpihakan pemerintah dalam hal ini kebijakan tegas dari Kementerian Perindusterian sangat penting untuk industri nasional menghadapi gempuran produk impor, yang utamanya dari Tiongkok.
“Asaki mengapresiasi dan mendukung penuh atas usulan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita agar regulasi soal impor yang tercantum dalam Permendag 8/2024 agar ditinjau ulang dan direvisi,” kata Edy melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis (27/6/2024) lalu.
“Semangat keberpihakan dalam rangka penguatan dan perlindungan terhadap industri keramik dalam negeri juga ditunjukkan oleh beliau (Menperin Agus) melalui Permenperin SNI Wajib untuk keramik,” tambahnya.
Edy menjelaskan, pihaknya juga mengapresiasi kolaborasi yang luar biasa dari Menperin dan Mendag, yang mana dalam waktu dekat akan mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik impor dari Tiongkok.
“Semoga semangat keberpihakan terhadap industri keramik dalam negeri tersebut juga mendapatkan atensi dan dukungan penuh dari Menteri Keuangan (Menkeu) dengan mengeluarkan PMK yang cepat setelah mendapatkan usulan BMAD & BMTP untuk produk keramik,” jelas Edy.
Sementara itu, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur melihat bahwa pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengeluarkan program-program yang mendorong industri untuk tumbuh dan berkembang.
“Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita care dan perhatian pada sektor yang dibinanya hanya saja anggaran perindustrian jauh dari memadai. Dan Pak Agus itu pemimpin smart, karena beliau jebolan USA jadi pemikiran terbuka luas serta akomodatif. Beliau adalah Menperin terbaik yg pernah kita punya, ” kata Sobur saat dihubungi INDUSTRY.co.id baru-baru ini.
Meski demikian, kata Sobur, dipihak lain ada yang mengeluarkan kebijakan yang justru menekan industri, “Artinya ada dua kebijakan yang saling bertentangan, dan ini perlu segera diselesaikan. Interdepnya harus lebih tegas dan clear,” jelas Sobur.
Dirinya merasa prihatin dengan apa yang terjadi di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang berada dalam ancaman kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kami ikut prihatin, mengingat industri yang kami geluti yaitu mebel dan kerajinan sama-sama industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja dan sama-sama menjadi alat jaring pengaman sosial dari siai pendapatan masyarakat,” terangnya.
Secara umum, diakui Sobur, menurunnya permintaan global bukan satu-satunya penyebab ‘anjloknya’ kinerja industri TPT, akan tetapi ada faktor lain yang menjadikan industri ini semakin terpuruk diantaranya, masih tergantungnya industri ini pada bahan baku impor, pelemahan rupiah, serta regulasi buka tutup barang jadi yang paling signifikan dampaknya ke sektor industri TPT.
“Bahkan, banjirnya produk impor dipasar domestik merupakan faktor yang menjadikan industri TPT semakin terpuruk. Selain itu, masih ada sejumlah regulasi yang kontra-produktif yang sangat berkontribusi terhadap situasi ini,” lanjut Sobur.
Menurut Sobur, bila situasi ini dibiarkan terus berlarut, tidak mustahil apa yang dialami industri TPT nasional saat ini bisa merembet ke industri padat karya lainnya, termasuk industri mebel dan kerajinan. “Mengingat ‘critical point’ dari jenis industri ini hampir mirip, terutama dalam hal pasar yang rentan terhadap gangguan geopolitik dan perubahan kebijakan dari negara tujuan ekspor yang condong sangat protektif,” katanya.
Bicara pasar domestik, industri mebel dan kerajinan juga tidak luput dari serangan produk impor. HIMKI mencatat dalam tiga tahun terakhir, impor produk mebel dan kerajinan tercatat mencapai USD 1 miliar atau setara dengan Rp16 triliun. “Nilai sebesar ini seharusnya menjadi peluang yang sangat potensial bagi industri dalam negeri,” tutur Sobur.
“Belajar dari situasi ini, pemerintah perlu lebih waspada dalam mengeluarkan kebijakan, terutama kebijakan impor, sehingga tidak berdampak kepada industri nasional yang secara teknis mampu memproduksi,” tutupnya. {sumber}