Berita Golkar – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan program hilirisasi tambang, khususnya tembaga, baru bisa dieksekusi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, program ini sudah digagas sejak Presiden pertama RI Soekarno.
Hal ini diungkapkan Bahlil saat meresmikan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga milik PT Amman Mineral Internasional Tbk, di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (23/9/2024). Dalam acara itu juga dihadiri oleh Presiden Jokowi.
“Presiden sejak Bung Karno sampai di jaman Bapak, undang-undangnya sudah ada. Tapi yang berani eksekusi untuk bangun smelter tembaga di republik ini hanya di zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi),” kata Bahlil dalam sambutannya saat acara peresmian smelter tembaga Amman Mineral di Sumbawa Barat, NTB, dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (23/9/2024).
Bahlil mengatakan, pembangunan smelter tembaga ini membutuhkan keberanian. Dia pun turut mengucapkan terima kasih pada dewan direksi PT Amman Mineral Internasional Tbk yang telah membangun smelter kedua terbesar di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Bahlil juga mengungkapkan kesulitan pengusaha yang mau membangun smelter tembaga di Indonesia.
Ia mengatakan, saat itu pengusaha banyak mengungkapkan kesusahan membangun smelter, mulai dari alasan pandemi Covid-19, terkendala belanja modal (capital expenditure/ capex). Namun saat itu, jika tidak dilakukan, maka perusahaan tembaga tidak bisa melakukan ekspor.
“Tapi saya bilang ini perintah Bapak Presiden, kalau tidak tunduk, tidak dapat lagi pengiriman ekspor,” kata Ketua Umum Partai Golkar ini.
Bahlil pun menyebut pemerintah menawarkan juga untuk memberikan bantuan atau insentif mulai dari tax holiday selama 20 tahun, hingga kemudahan masterlist, dan lainnya.
Perlu diketahui, RI telah memiliki smelter tembaga pertama yang beroperasi dan dikelola oleh PT Smelting sejak 1998 lalu. PT Smelting merupakan pabrik peleburan dan pemurnian tembaga pertama di Indonesia yang dibangun PTFI bersama konsorsium Jepang, Mitsubishi Materials Corporation, sebagai bagian dari komitmen perusahaan dalam memenuhi kewajiban Kontrak Karya (KK) PTFI tahun 1991. Pembangunan PT Smelting dimulai pada tahun 1996 hingga akhirnya mulai beroperasi pada 1998.
PT Smelting sejak 30 Juni 2024 tercatat dimiliki oleh PT Freeport Indonesia 66,02% dan Mitsubishi Materials Corporation 33,98%.
PT Smelting ini sebelumnya mengolah konsentrat tembaga dari PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara dengan total kapasitas olahan 1 juta ton per tahun. Kini PT Smelting juga telah melakukan ekspansi dengan kapasitas pengolahan tembaga naik menjadi 1,3 juta ton per tahun dan hanya mengolah konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia.
Namun, kali ini smelter tembaga, baik milik PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, sudah bisa menghasilkan produk emas hingga perak, melalui fasilitas Precious Metals Refinery (PMR).
Pada hari ini, Senin (23/09/2024), Presiden Jokowi meresmikan dua smelter tembaga, yakni smelter tembaga milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara, anak usaha PT Amman Mineral Internasional Tbk, dan smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia.
Smelter tembaga Amman Mineral berada di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dengan kapasitas pengolahan 900.000 ton konsentrat tembaga per tahun dan memproduksi 220.000 ton katoda tembaga, 18 ton emas, 55 ton perak, dan 860 ton asap sulfat by product, per tahunnya. Adapun total investasi smelter AMMAN ini mencapai Rp 21 triliun.
Sementara smelter tembaga PT Freeport Indonesia berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur.
Smelter dengan single line terbesar di dunia ini memiliki kapasitas pemurnian hingga 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
Ditambah dengan smelter pertama yang sudah beroperasi yaitu PT Smelting, keduanya akan memurnikan 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun dengan produksi sekitar 1 juta ton katoda tembaga, 50 ton emas, dan 220 ton perak per tahun.
Adapun nilai investasi untuk smelter tembaga PT Freeport Indonesia ini mencapai US$ 3,7 miliar atau Rp 58 triliun. {}