Belajar Dari Kasus ART Intan, Umbu Rudi Kabunang Minta RUU PPRT Segera Dibahas DPR

Berita Golkar – Tubuh remaja bernama Intan menjadi saksi bisu dari kekerasan yang ia alami: mata lebam, rusuk memar, dan punggung penuh luka. Usianya bahkan belum mencapai 20 tahun. Ia datang dari perbukitan Sumba Barat ke Batam, membawa harapan sederhana—menjadi asisten rumah tangga, mencari nafkah, dan membantu keluarganya di kampung. Namun, kenyataan yang ia hadapi sangat jauh dari bayangan: penganiayaan, pengurungan, dan hampir kehilangan nyawa.

Cerita Intan bukan sekadar kisah sedih seorang pekerja domestik. Ia mencerminkan kegagalan sistem yang selama ini membiarkan jutaan asisten rumah tangga (ART) hidup tanpa kepastian hukum—tanpa kontrak, tanpa gaji layak, dan tanpa perlindungan memadai.

Tragedi ini dengan cepat menjadi perhatian publik, termasuk parlemen. Salah satu suara paling lantang datang dari legislator asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dan anggota Badan Legislasi DPR RI, Dr. Umbu Rudi Kabunang yang juga Ketua Depidar SOKSI NTT.

“Tragedi ini alarm kemanusiaan. Kita tidak bisa terus-menerus menutup mata. RUU Perlindungan PRT harus segera disahkan. Sudah masuk Proglegnas. Kita apresiasi dengan semua pimpinan dan anggota Baleg. Dan target kita segera diselesaikan. Kita mendorong bisa dibahas dan diselesaikan tahun ini. Kita senang dan apresiasi semua anggota Baleg punya semangat yang sama untuk melindungi ART,” kata Umbu Rudi, Rabu (25/6/2025), dikutip dari SoksiNews.

Umbu Rudi tidak hanya bersuara sebagai wakil rakyat, tetapi juga sebagai anak daerah yang memahami betul realitas yang dihadapi warganya. Sebagai aktivis HAM dan tokoh hukum, ia selama ini bersentuhan langsung dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami warga dari timur Indonesia.

“Ada ribuan Intan lain. Mereka dari Sumba, Lembata, Flores. Mereka bekerja di kota-kota besar tapi hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan ketidakpastian,” tuturnya.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sejatinya telah lama masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun tak kunjung disahkan. Berulang kali tertunda karena tarik-menarik kepentingan politik, padahal isi dan urgensinya sudah tak bisa diperdebatkan.

“Substansi RUU ini jelas: Menjamin jam kerja manusiawi, Menetapkan upah minimum sesuai wilayah, Mewajibkan kontrak kerja tertulis, Memberi akses pada jaminan sosial dan hukum, Menyediakan mekanisme penyelesaian konflik,” jelas Umbu Rudi.

Mengacu data JALA PRT, jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia mencapai lebih dari 4 juta orang, mayoritas perempuan muda dari daerah-daerah miskin seperti NTT. Mereka bekerja dalam kondisi rentan—tak digaji layak, tak dilindungi hukum, bahkan tak diakui statusnya.

Bagi Umbu Rudi, tragedi yang menimpa Intan bukan sekadar kabar duka, melainkan titik tolak perubahan kebijakan. Ia menekankan bahwa RUU PPRT harus menjadi prioritas utama dalam pembahasan legislatif tahun ini. “Kita tidak sedang bicara politisasi, kita bicara nyawa manusia,” tegasnya.

RUU ini diharapkan menjadi batu loncatan penting untuk:

  • Menyudahi kekosongan hukum yang selama ini membiarkan PRT dalam status informal,

  • Mengakui kerja domestik sebagai profesi yang sah dan bermartabat,

  • Mendorong relasi kerja yang adil antara pemberi kerja dan ART.

“Juga mencegah eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan membangun hubungan kerja yang harmonis antara pemberi kerja dan PRT,” tambahnya.

Ketika masyarakat mulai kehilangan harapan atas lambatnya perubahan, suara seperti yang disampaikan oleh Umbu Rudi Kabunang menjadi penegas bahwa perjuangan masih berjalan. Namun, seperti Intan yang masih menjalani proses pemulihan, perjuangan ini memerlukan kepedulian berkelanjutan, konsistensi, dan keberanian menghadapi sistem yang terlalu lama abai.

“Jangan tunggu korban berikut. Saatnya negara hadir di dapur rumah tangga,” pungkas Umbu Rudi. {}