Eric Hermawan Ingatkan Satgas BKC Ilegal Jangan Matikan Industri Rokok Skala Kecil Menengah

Berita Golkar – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai resmi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan Barang Kena Cukai Ilegal (Satgas BKC Ilegal), dengan tujuan melindungi penerimaan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil.

Menanggapi inisiatif tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI, Eric Hermawan menyatakan, pembentukan Satgas BKC Ilegal merupakan langkah positif.

Namun, ia mengingatkan agar implementasinya tidak justru menekan dan mematikan industri rokok skala kecil dan menengah (IKM rokok), seperti yang banyak berkembang di daerah-daerah seperti Madura, Malang, Jember, Pasuruan, Sidoarjo, Temanggung, dan sekitarnya.

Politisi Partai Golkar ini menegaskan bahwa IKM rokok baik kretek maupun jenis lainnya– berperan penting dalam mendukung ekonomi lokal. Mereka menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (padat karya) dan menghidupi mata rantai ekonomi mulai dari petani tembakau, pedagang kecil, distributor, hingga pekerja informal lainnya.

“Kita tidak bisa mengabaikan dampak strukturalnya. Jika kebijakan yang diterapkan terlalu menekan produsen kecil-menengah, maka akan muncul efek domino, mulai dari pemutusan hubungan kerja hingga terganggunya perputaran ekonomi lokal. Ini tidak sejalan dengan Visi Asta Cita Presiden Prabowo,” ujar Eric Hermawan, Kamis (17/7/2025), dikutip dari Akurat.

Eric juga menegaskan perlunya pengawasan yang adil dan transparan terhadap seluruh pelaku industri rokok, termasuk perusahaan besar. “Satgas BKC Ilegal jangan hanya menyasar pelaku kecil. Perlu ada pengawasan berkala terhadap pabrikan besar yang selama ini justru minim pelaporan,” tambahnya.

Peraih gelar Doktor Manajemen Sumber Daya dari Universitas Negeri Jakarta ini menyoroti pentingnya regulasi pendukung sebelum penindakan dilakukan, seperti kemudahan akses cukai bagi pelaku usaha kecil dan harga cukai yang terjangkau.

“Cukai seharusnya bisa dibeli rakyat melalui mekanisme yang mendukung industri rokok rakyat, dengan harga terjangkau dan hanya untuk konsumsi dalam negeri. Perlu ada batasan harga eceran terendah khusus untuk UMKM,” ujarnya.

Sebagai presidium Ikatan Doktor Manajemen Indonesia (IKADIM), Eric mendukung upaya pemerintah menghapus peredaran rokok ilegal, khususnya rokok tanpa pita cukai (rokok polos).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan rokok polos menempati porsi terbesar pelanggaran pada 2024, sebesar 95,44%. Pelanggaran lainnya meliputi rokok palsu (1,95%), salah peruntukan (1,13%), bekas (0,51%), dan salah personalisasi (0,37%).

“Dominasi rokok polos harus jadi perhatian khusus. Ini merugikan negara, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merugikan konsumen,” tegasnya.

Data Bea Cukai mencatat, terdapat 977 pabrik rokok berizin di Jawa Timur yang mayoritas masuk kategori Golongan 2 Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Golongan 3 Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan sebagian besar merupakan pelaku industri rokok skala kecil dan menengah.

“Kontribusi IKM rokok terhadap penerimaan negara cukup signifikan, mencapai 10–15%. Pemerintah sebaiknya menggali potensi ini dengan menciptakan mekanisme cukai yang ramah bagi UMKM,” jelas Eric yang juga menjabat sebagai Ketua DPW Ikatan Keluarga Madura Jawa Timur (IKAMA).

Selain penindakan, DPR dan pemerintah telah mendorong ekstensifikasi cukai dengan menambah jenis barang kena cukai seperti Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) guna menopang penerimaan negara. Itu akan direalisasikan pada 2026 mendatang. “Tujuannya jelas, untuk menambal potensi pendapatan negara yang belum tergarap maksimal,” ujarnya.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus mengkritisi absennya peta jalan (roadmap) jangka panjang dalam kebijakan cukai rokok.

“Selama ini kenaikan tarif cukai seperti turun dari langit –mendadak dan tanpa kepastian bagi industri. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan dan berdampak langsung pada petani tembakau,” katanya.

Heri mendorong pemerintah untuk menyusun roadmap cukai rokok yang berimbang, dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan: penerimaan negara, kelangsungan industri, perlindungan petani, dan pengendalian rokok ilegal.

“Penanggulangan rokok ilegal harus sejalan dengan arah kebijakan lintas sektor. Harus ada kepastian bagi industri, perlindungan bagi petani, dan keberlanjutan penerimaan negara. {}