DPP  

Jika Jokowi Bersandar Ke Golkar

Berita Golkar – Masa depan politik Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi, sontak memantik perhatian publik setelah resmi dicopot keanggotaannya dari PDI Perjuangan (PDIP).

Di antara opsi yang mengemuka dan paling rasional, kemungkinan besar Jokowi akan bergabung dengan partai politik besar ketimbang mendirikan partai sendiri.

Seandainya Partai Golkar pada akhirnya dijadikan sebagai tambatan politik Jokowi, bagaimana kalkulasi politiknya? Lantas, apa faedahnya bagi Partai Golkar dan kepentingan Jokowi sendiri?

Setidaknya, sikap terbuka Partai Golkar atas kemungkinan bergabungnya Jokowi, terbaca dari pernyataan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Muhammad Sarmuji.

“Tidak ada hambatan komunikasi maupun politik seandainya Jokowi mau masuk menjadi anggota Partai Golkar. Sampai saat ini, komunikasi berjalan dengan baik antara Golkar dan Jokowi,” ungkap Sarmuji (Kompas.com, 12/12/2024).

Kalkulasi politik

Bagi Jokowi, menjadikan Partai Golkar sebagai tempat berlabuh adalah pilihan paling rasional secara politik. Partai Golkar telah teruji bahwa sejak berlangsunya pemilu di era Reformasi, belum pernah sekalipun terpelanting dari peringkat dua besar.

Apabila dibandingkan dengan partai-partai lain, Partai Golkar lebih memiliki basis dukungan politik yang merata. Hasil pemilu legislatif 2024, Golkar berhasil menguasai 18 persen kursi DPR, atau setara 102 kursi.

Kendati perolehan suaranya di bawah PDIP sebagai pemenang pemilu, tapi Partai Golkar berhasil mendominasi kemenangan di banyak provinsi. Partai Golkar berhasil menang di 14 Provinsi, sementara PDIP hanya menang di 12 provinsi.

Capaian ini tentu saja meningkat apabila dibandingkan dengan hasil Pileg 2019 yang hanya menang di 8 provinsi. Selebihnya, Partai Golkar juga mendominasi perolehan kursi di tingkat DPRD provinsi, naik 50 kursi menjadi 359 kursi dari sebelumnya hanya 309 di pemilu 2019.

Demikian halnya dengan capaian kursi di tingkat kabupaten/kota, Partai Golkar berhasil mengamankan 2.521 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia.

Dari sisi kekuatan politik Partai Golkar di legislatif, jelas memberikan benefit politik tersendiri bagi Jokowi ketimbang harus bersusah payah mendirikan partai baru. Apalagi, relasi dirinya dengan Partai Golkar telah terbangun cukup kuat dan melekat satu sama lainnya.

Dengan bergabung ke Golkar, Jokowi memiliki peluang mempertahankan eksistensi politiknya tetap berada dalam “pusaran kekuasaan”, sekaligus menjaga nilai tawar politik dirinya dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, baik di hadapan Presiden Prabowo Subianto maupun partai politik lainnya.

Dukungan Partai Golkar, bagaimanapun penting secara politik bagi Jokowi. Sebab, bukan tidak mungkin, jika dikemudian hari terjadi “turbulensi politik” karena pertentangan kepentingan antara dirinya dengan Presiden Prabowo, Golkar bisa digunakan sebagai tameng untuk menegosiasikan kepentingan politiknya.

Pertimbangan lainnya, mendirikan partai baru di tengah menggilanya pragmatisme politik dan ketatnya syarat yang mesti dipenuhi, bukanlah tanpa risiko bagi Jokowi. Apalagi, di saat dirinya telah “powerless”, alias tak lagi memegang kekuasaan.

Terlebih, selama berlangsungnya pemilu pasca-Reformasi 1998, sistem kepartaian yang terbentuk semakin stabil dan mengerucut. Fakta ini nampak dari jumlah partai yang lolos ke DPR kian menyusut. Gagalnya PSI masuk ke Senayan kendati mendapatkan berlimpah “endorsement kekuasaan”, tentu menjadi refleksi bagi Jokowi bahwa mendirikan partai nyatanya tak segampang membalikkan telapak tangan.

Di Partai Golkar, Jokowi setidaknya merasa nyaman karena selain kultur politiknya egaliter, pola hubungan antar-elitenya terbangun setara. Partai Golkar telah mampu melakukan “depersonalisasi”, alias tak lagi bergantung pada tokoh tertentu sebagaimana zaman Orde Baru.

Meminjam perspektif ahli sosiologi politik “Eva Etziony Halevy”, konfigurasi kekuatan elitnya terfragmentasi secara luas alias prural. Sejak mendeklarasikan dirinya sebagai partai dengan paradigma barunya, kekuatan utama di Partai Golkar sejatinya terletak pada “impersonal order”, lebih tepatnya sistem, bukan lagi bergantung pada satu tokoh besar sebagaimana kecenderungan partai politik lain.

Dalam situasi tak ada figur yang memiliki kekuatan hegemonik di internal partai, Jokowi lebih memiliki peluang untuk membagun posisi politiknya sebagai salah satu kekuatan determinan di Partai Golkar.

Tentu saja, waktu yang akhirnya menjawab, apakah Jokowi bergabung dengan Partai Golkar atau justru mendirikan partai sendiri? Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Tardjo Ragil, Peneliti Akbar Tandjung Institute