Berita Golkar – Jika berbicara mengenai politisi perempuan Partai Golkar, sosok Hetifah Sjaifudian tak bisa dilepaskan dari titel ini. Memiliki citra sebagai politisi yang keibuan dan ramah terhadap semua orang, Hetifah Sjaifudian berhasil menegaskan citranya tersebut ketika bertugas sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI pada periode 2019-2024.
Meski kini menduduki jabatan mentereng, Hetifah tidak mencapai titik itu dalam satu malam. Proses panjang dibutuhkannya untuk bisa menanjaki puncak karir sebagai seorang politisi. Berbekal latar belakang pendidikan yang cemerlang dan pengalaman di dunia organisasi, Hetifah pun mantap menjadikan dunia politik sebagai peraduan kehidupannya.
Perempuan kelahiran Bandung, 30 Oktober 1964 ini tergolong sebagai perempuan yang cerdas dalam bidang akademis. Hal tersebut bisa kita lihat dari jejak pendidikannya. Saat mengenyam bangku pendidikan sekolah menengah, Hetifah bersekolah di SMAN 3 Jakarta dari tahun 1979 sampai 1982.
Lulus SMA, Hetifah melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Karena sudah memiliki dasar kecerdasan, Pada tahun 1982 Hetifah diterima di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB). Di ITB, Hetifah mengambil jurusan Teknik Planologi. Ia lantas berhasil lulus dengan nilai memuaskan di tahun 1988.
Pada masa kuliah ini selain aktif belajar, Hetifah juga turut berorganisasi. Ia masuk ke organisasi eksternal kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Melalui HMI Hetifah banyak belajar soal organisasi hingga isu-isu yang menarik minatnya. Isu keperempuanan salah satu wacana yang dikembangkan Hetifah di HMI. Melalui KOHATI (Korps HMI Wati), Hetifah mempelajari banyak isu keperempuanan dan gender.
Selain aktif berorganisasi di HMI, Hetifah juga sempat menduduki jabatan di organisasi internal kampus sebagai Ketua HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) dari tahun 1985 sampai 1986. Di periode tahun 1987 sampai 1988, Hetifah mendapat posisi sebagai sekretaris di organisasi KKMB.
Keaktifannya berorganisasi membekas di benak Hetifah, dasar hati nuraninya yang senantiasa peduli pada wacana sosial membuatnya kemudian mendirikan Akatiga Foundation di tahun 1991.
Akatiga Foundation adalah lembaga penelitian independen dan non profit dengan tiga fokus kegiatan: penelitian sosial, monitoring dan evaluasi program-program pembangunan, rekomendasi kebijakan. Hetifah membuat lembaga ini untuk pengaplikasian keilmuan yang dimilikinya sekaligus sarana aktifitas teman-teman yang memiliki semangat sama dalam meretas permasalahan sosial.
Di tahun 1993, Hetifah memutuskan untuk melanjutkan kembali jenjang pendidikannya untuk mendapatkan gelar magister. Kebutuhan akan ilmu untuk mengelola Akatiga Foundation membuatnya kembali mengenyam bangku pendidikan. Hetifah melanglang buana ke negeri seberang Universitas Nasional Singapura pada tahun 1993 untuk mendapatkan gelar Master in Public Policy.
Tak butuh waktu lama bagi Hetifah, di tahun 1995 ia sudah berhasil mendapatkan gelar master di bidang kebijakan publik. Bekal ilmu bidang kebijakan publik ini ia gunakan sebaik mungkin untuk memajukan Akatiga Foundation sebagai lembaga yang berfokus pada rekomendasi kondisi sosial kemasyarakatan.
Di tahun 2002, tak puas hanya menyandang gelar master di belakang namanya, Hetifah kembali melanjutkan pendidikan, gelar doktoral yang kali ini jadi sasarannya. Mengambil jurusan School of Politic and International Studies, di Universitas Flinders Hetifah berhasil mendapat gelar doktor bidang politik di kampus tersebut pada tahun 2006.
Setelahnya, Hetifah kembali ke Indonesia. Berkat jejaring dan bekal keilmuan yang semakin luas, Hetifah kembali bergelut dengan dunia organisasi, aktifisme dan advokasi dengan mendirikan WRI di tahun 2004 dan Inisiatif Association di tahun 2006. Di tahun 2007, Hetifah sempat didapuk jabatan sebagai Ketua Ikatan Alumni Planologi Institut Teknologi Bandung. Ia mengabdi sebagai ketua alumni sampai tahun 2012.
Selain itu, Hetifah juga pernah berkiprah sebagai Steering Committee FPPM di tahun 2008-2009, serta Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni Budaya KOWANI di periode 2009-2014.
Di luar keaktifannya berorganisasi, Hetifah juga memiliki karir profesional sebagai peneliti, pengajar atau dosen. Profesinya ini telah dilakoni Hetifah sejak medio tahun 1980-an ketika menjadi Peneliti Institut Teknologi Bandung. Hetifah menjalani kesibukan sebagai peneliti ITB dari tahun 1988 sampai 1991 dan 1997-1999.
Lalu sebagai Pendiri dan Peneliti AKATIGA Center for Social Analysis di tahun 1991 sampai 2009, Dosen Luar Biasa Development Studies Program dari tahun 1995 sampai tahun 2000, Direktur Eksekutif B-Trust Advisory Group, Bandung dari tahun 2005-2009 dan 2014-2015.
Perjalanan karir sebagai aktivis, organisatoris, pengabdi keilmuan membuat Hetifah terpanggil untuk membuka ruang yang lebih besar agar bermanfaat bagi orang banyak. Politik adalah tujuannya. Dengan berkiprah di dunia politik, Hetifah memiliki niat dan maksud agar keberadaan dirinya dapat memunculkan dampak positif bagi masyarakat.
Partai Golkar dipilihnya karena beberapa alasan, salah satunya adalah partai yang bisa menjamin wawasan keilmuannya tetap terjaga di tengah hiruk pikuk pragmatisme politik saat itu. Sebagai partai tengah, Partai Golkar untuk Hetifah memiliki kesan inklusif dengan semangat isu yang diusungnya sejak awal, mengenai perempuan dan keberpihakan kebijakan publik.
Hetifah menjadi kader Partai Golkar sejak ia aktif di salah satu organisasi sayap politik Golkar yaitu Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Pada Pileg 2009, Hetifah maju mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif dan terpilih menjadi Anggota DPR-RI periode 2009-2014. Hetifah bertugas di Komisi X (pendidikan, pemuda dan olahraga) dan kemudian mutasi ke Komisi V (perhubungan, pekerjaan umum dan perumahan rakyat).
Pada Pileg 2014 Hetifah kembali mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif tetapi gagal terpilih kembali. Namun, keberuntungan tampaknya memihak Hetifah, Anggota DPR-RI terpilih dari Partai Golkar di Dapil Kalimantan Timur, Neni Moerniaeni mengundurkan diri lantaran ingin mencalonkan diri sebagai Walikota Bontang pada Pilkada Serentak 2015. Pada 30 Oktober 2015, Hetifah sebagai pemilik suara terbesar kedua dilantik sebagai Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan Neni Moerniaeni.
Pada 28 Maret Hetifah tidak lagi menduduki posisi sebagai anggota di Komisi 2 DPR-RI yang membidangi pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur dan reformasi birokrasi, kepemiluan, pertanahan dan reforma agraria dan mulai bertugas di Komisi 10 DPR-RI yang membidangi pendidikan, kebudayaan, pariwisata, ekonomi kreatif, pemuda dan olahraga, dan perpustakaan.
Namanya turut serta meramaikan perombakan pimpinan di AKD oleh Fraksi Golkar pasalnya Hetifah menggantikan posisi Ferdiansyah sebagai Wakil Ketua Komisi 10 DPR-RI sejak 2 April 2018.
Hetifah terpilih kembali menjadi Anggota DPR-RI periode 2019-2024 melalui Partai Golongan Karya (Golkar) setelah memperoleh 66.487 suara dari dapil Kalimantan Timur yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi 10 yang membidangi pendidikan, kepemudaan, olahraga, perpustakaan, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Selama duduk sebagai anggota DPR RI dengan posisi di berbagai komisi, Hetifah sangat aktif menyuarakan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya. Tercatat, Hetifah memiliki kontribusi aktif terhadap penyusunan RUU Pemilu saat masih berada di Komisi II DPR. Ia juga aktif dalam perumusan, pembahasan hingga pengesahan.
Hetifah juga berperan aktif dalam RUU Aparatur Sipil Negara (RUU ASN), lalu RUU Pertanahan, RUU Ekonomi Kreatif, RUU tentang Kepariwisataan, dan ada pula RUU Wawasan Nusantara yang mendapat sentuhan pemikiran serta tangan dinginnya.
Dalam perannya sebagai legislator perempuan, Hetifah senantiasa meminta parlemen untuk lebih memperhatikan regulasi yang pro terhadap perempuan serta memberikan ruang seluasnya bagi kaum perempuan untuk berkecimpung di dunia politik. Hetifah juga memiliki program penyaluran beasiswa bagi anak-anak Kaltim yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Sejak awal ia bergerak di dunia organisasi, Hetifah selalu berkomitmen untuk menjadi pejuang bagi nasib kaum perempuan. Ia sadar bahwa tanpa pioneer, nasib perempuan akan sulit berubah di bumi pertiwi. Butuh semangat ekstra untuk melakukan perubahan bagi kaum perempuan, terutama dari sisi kebijakan dan keberpihakan politik. Hetifah berada di parlemen untuk terus memperjuangkan hal ini. {redaksi}