Menperin Agus Gumiwang Serukan Mitigasi: Harga Energi Terancam Perang Timur Tengah

Berita Golkar – Di tengah gejolak geopolitik global, eskalasi konflik Iran-Israel telah menciptakan gelombang kekhawatiran ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti dampak serius yang mungkin menimpa sektor manufaktur dalam negeri dan menggarisbawahi langkah-langkah mitigasi untuk diambil.

Melansir laman resmi Kemenperin, fokus utama Menteri Agus terkait hal ini adalah pada ketahanan energi dan pangan, serta pentingnya kemandirian industri di tengah krisis rantai pasok global. Ia secara tegas menyatakan bahwa industri dalam negeri harus segera beradaptasi dengan tantangan yang muncul akibat konflik Iran-Israel.

Tiga poin utama menjadi perhatian Menteri Agus adalah:

Ketergantungan Energi Impor

Industri Indonesia sangat bergantung pada energi impor, baik sebagai bahan baku maupun komponen input produksi. Konflik ini telah memicu fluktuasi harga minyak Brent antara $73 hingga $92 per barel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20% pada tahun 2025. Ancaman penutupan Selat Hormuz, yang menangani 30% pengiriman minyak global, semakin memperparah kondisi.

Gangguan Rantai Pasok Global

Konflik di Timur Tengah mengancam jalur logistik vital yang dilalui bahan baku dan produk ekspor. Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150-200%.

Dampak ini terasa pada sektor otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor pada 65% produksinya, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar $500 juta.

Industri tekstil dan alas kaki mengalami penyusutan margin laba 5-7% akibat kenaikan biaya logistik, sementara sektor nikel dan baja menghadapi kenaikan biaya transportasi batu bara sebesar 15-20%. Penundaan pengiriman tiga hingga empat minggu, mengancam kerugian ekspor sebesar $1,2 miliar.

Gejolak Nilai Tukar Mata Uang

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi meningkatkan inflasi harga input produksi dan mengurangi daya saing ekspor produk industri.

“Karena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien dalam penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri. Hal ini juga sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo,” tegasnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (17/6/2025), dikutip dari WartaEkonomi.

Lebih lanjut, Kemenperin mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi. Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan.

“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” tambah Agus.

Bahkan, Kemenperin terus mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.

Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global. Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Ketiga faktor ini, logistik, inflasi, dan nilai tukar, secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” jelas Menperin.

Agus menegaskan, industri manufaktur nasional tidak hanya akan difokuskan hilirisasi sektor agro untuk menghasilkan produk pangan, tetapi juga diarahkan untuk berperan aktif berinovasi menemukan teknologi produksi pangan lebih efisien sehingga menciptakan nilai tambah lebih tinggi didalam negeri.

Hilirasi produk agro guna mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan juga menjadi program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan industri manufaktur harus berkontribusi untuk mencapai tujuan tersebut.

Menperin menghimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) menghadapi inflasi dalam input produksi. Industri dapat memanfaatkan fasilitas Bank Indonesia (BI) tersebut guna mengantisipasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama pada negara-negara yang telah menandatatangi LCS dengan Indonesia.

Krisis ini juga memperlihatkan kerentanan terhadap rantai pasok global, terutama bagi industri manufaktur Indonesia. Rute perdagangan maritim kritis, termasuk Selat Hormuz, yang menangani 30% pengiriman minyak global, dan Terusan Suez, jalur bagi 10% perdagangan dunia, berisiko mengalami gangguan.

Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150-200%.

Gangguan tersebut berdampak pada sejumlah sektor industri di Indonesia. Contohnya sektor otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor untuk 65% produksinya, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar $500 juta.

Selanjutnya, industri tekstil dan alas kaki, salah satu penghasil ekspor utama, melihat margin laba menyusut 5-7% akibat kenaikan biaya logistik, mengurangi daya saing dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Bangladesh.

Sementara itu, sektor nikel dan baja Indonesia, yang penting bagi transisi energi global, menghadapi kenaikan biaya transportasi batubara sebesar 15-20% dan penundaan pengiriman tiga hingga empat minggu, mengancam kerugian ekspor sebesar $1,2 miliar.

Konflik ini juga mempercepat tren perdagangan global yang mengkhawatirkan, termasuk “friend-shoring” oleh ekonomi Barat yang berupaya mengurangi ketergantungan pada kawasan rawan konflik.

Meski Indonesia berpeluang mendapat keuntungan dari cadangan nikelnya yang besar, menyumbang 40% permintaan global untuk baterai kendaraan listrik, negara ini juga harus menghadapi hambatan perdagangan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang dapat menaikkan biaya kepatuhan eksportir sebesar 8-12%.

Ketahanan pangan juga menjadi perhatian. Indonesia mengimpor pupuk dan bahan baku pupuk berbasis NPK, seperti fosfat, perkiraan sekitar 64% di antaranya berasal dari Mesir yang terletak strategis di kawasan Timur Tengah.

Selain Mesir, Indonesia juga mengimpor sejumlah kecil bahan baku pupuk dari negara-negara Timur Tengah lainnya. Meskipun volume impor dari negara-negara tersebut relatif kecil, potensi dampaknya tetap signifikan apabila terjadi konflik di kawasan tersebut.

Kemenperin juga memandang konflik Timur Tengah ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat hilirasi dan kemandirian industri dalam negeri.

“Di tengah tantangan global, justru terbuka ruang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan produk energy dan pangan luar negeri. Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi dan pangan Indonesia,” tegas Agus.

Menurutnya, dukungan pemerintah akan terus diberikan dalam bentuk insentif, fasilitasi investasi, hingga kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih efisien dan berdaya saing tinggi.

“Ketahanan pangan dan energi bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri. Dan industri manufaktur Indonesia harus jadi garda terdepan untuk mewujudkannya,” tegasnya.

Dengan strategi ini, Kemenperin berharap Indonesia mampu menjaga stabilitas sektor industri dan ekonomi secara keseluruhan, sekaligus meningkatkan ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai tekanan global. {}