Berita Golkar – Isu sensitif mengenai penguasaan fisik pulau-pulau kecil di Bali oleh warga negara asing (WNA) kembali mencuat.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, dengan tegas menyatakan komitmennya untuk menertibkan praktik ini, meskipun secara legal sertifikat kepemilikan (SHM atau SHGB) tercatat atas nama warga negara Indonesia (WNI).
“Ini akan kita tertibkan ya,” ujar Nusron, dikutip dari Kompas.
Pernyataan ini disampaikan Nusron di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Minggu (13/7/2025), sebagai respons atas dugaan penguasaan fisik yang membatasi akses publik di destinasi pariwisata ikonik tersebut.
Dinamika ini menjadi menarik karena sebelumnya Gubernur Bali, I Wayan Koster, membantah klaim tersebut, menegaskan bahwa keberadaan WNA hanyalah sebagai investor pariwisata.
Sebelumnya, pada rapat kerja dengan Komisi II DPR RI (1/7/2025), Nusron Wahid mengungkapkan dugaan penguasaan pulau-pulau kecil di Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh WNA. Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, WNA dilarang memiliki tanah di Indonesia.
Oleh karena itu, sertifikat SHM atau SHGB tidak mungkin atas nama WNA. Namun, Nusron menyoroti adanya penguasaan fisik melalui skema kerja sama antara WNI sebagai pemilik sertifikat dan WNA sebagai pengelola.
“Jadi gini, pulau di Bali itu bisa jadi memang pemilik SHGB atau SHM-nya itu adalah atas nama orang Indonesia, tapi kemudian dikerjasamakan sama orang asing. Sehingga karena kerja sama orang asing, orang lain enggak boleh masuk,” jelas Nusron pada 9 Juli 2025.
Fenomena ini menyebabkan beberapa pulau kecil, seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, atau Nusa Ceningan, menjadi eksklusif dan membatasi akses masyarakat lokal atau wisatawan lain.
Di sisi lain, Gubernur Bali, I Wayan Koster, pada 2 Juli 2025, membantah klaim penguasaan asing tersebut. Menurutnya, keberadaan WNA hanyalah sebatas investor yang membangun fasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, dan vila.
Ia menekankan bahwa Bali hanya memiliki satu pulau utama dan pulau-pulau kecil yang tetap dikelola sesuai prosedur oleh pemerintah daerah dan warga lokal.
Strategi ‘Sapu Bersih’ Kementerian ATR/BPN
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian ATR/BPN di bawah Nusron Wahid akan menerapkan strategi penertiban yang berlapis:
1. Pemeriksaan Legal Standing Komprehensif:
Tim khusus telah diterjunkan untuk memeriksa dokumen kepemilikan seluruh pulau kecil, termasuk status SHM, SHGB, Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Pakai (HP). Koordinasi intensif dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memastikan semua tanah di luar kawasan hutan bersertifikat sesuai aturan.
Data mencengangkan menunjukkan bahwa dari 17.326 pulau kecil di Indonesia, hanya 1.349 (7,77%) yang bersertifikat, sementara 15.977 (92,12%) belum terdaftar, meningkatkan risiko penguasaan tidak sah.
2. Pengawasan Ketat Skema Kerja Sama:
Menteri Nusron menduga praktik nominee (WNI sebagai pemilik formal) atau kontrak pengelolaan eksklusif dengan WNA yang membatasi akses publik.
Diusulkan agar WNI menjadi pemegang saham mayoritas dalam kerja sama investasi di pulau-pulau kecil, sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan 30% wilayah pulau tetap dikuasai negara untuk kepentingan publik, kawasan lindung, dan zona evakuasi.
3. Penegakan Hukum dan Pembasmian Jual Beli Pulau Ilegal:
Menteri Nusron menyoroti maraknya situs daring yang menawarkan penjualan pulau secara tidak sah. Kementerian ATR/BPN telah melacak dan menutup beberapa situs tersebut.
4. Integrasi dengan Reforma Agraria:
Penertiban pulau kecil akan diintegrasikan dengan program Reforma Agraria. Nusron mengancam akan mengambil alih tanah bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun (setelah peringatan), dan akan didistribusikan kembali untuk kepentingan publik. Hal ini memastikan pemanfaatan tanah yang adil dan merata, termasuk di pulau-pulau kecil Bali, untuk pariwisata yang inklusif. {}