Berita Golkar – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengenakan tarif royalti baru di sektor mineral mulai bulan ini. Hal ini dilakukan guna mengerek penerimaan negara dari sektor tambang.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memahami terdapat sejumlah penolakan dari para pelaku usaha terkait rencana kenaikan tarif royalti tersebut. Namun di sisi lain, menurutnya pemerintah juga harus melihat pada kepentingan negara dan bangsa.
“Minggu kedua bulan ini sudah terbit. Sudah jalan. Sudah berlaku. Kita menghargai semua masukan. Tapi kita melihat pada suatu kepentingan lebih besar dari bangsa kita,” ujar Bahlil di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Senin (14/4/2025), dari CNBCIndonesia.
Menurut dia, pemerintah sendiri telah melakukan sosialisasi untuk penerapan skema royalti yang baru. Skema royalti terbaru nantinya akan menggunakan sistem range yang bergantung pada harga komoditas mineral di pasar global.
“Kalau tidak naik, itu tidak juga naik. Memang ada tabelnya. Kalau harga naik, otomatis perusahaan dapat untung. Masa kemudian kalau dapat untung, negara tidak mendapat bagian. Kita mau win-win. Kita ingin pengusahanya baik, negaranya juga baik,” tambahnya.
Namun, para pelaku usaha menilai bahwa beban industri semakin berat dengan adanya kebijakan tersebut. Salah satunya seperti nikel yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10% akan naik menjadi 14-19%.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan apabila tarif royalti naik menjadi 14-19%, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi dibandingkan dengan negara penghasil nikel lainnya.
“Kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10% sebelum tambah yang 14-19%,” ujarnya dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, beberapa waktu lalu.
Menurut Meidy, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga tarif royalti nikel lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan.
“Di beberapa negara, Amerika, Amerika Asia, dan Eropa, dan negara-negara tetangga kita, royalti itu lebih rendah. Di Indonesia. Itu kalau royalti 10%. Kalau ditambah lagi 14-19% waduh. Kita benar-benar negara kaya ya,” ujarnya.
Meidy menilai kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi berbagai macam kebijakan lainnya. Misalnya seperti naiknya harga B40, aturan DHE ekspor dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Di tempat yang sama, Senior Vice President Division Head of IMMRI MIND ID Ratih Dewihandajani menilai sebagai perusahaan pelat merah, MIND ID senantiasa mendukung apa yang menjadi kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif royalti.
Namun, sebagai anggota dari Indonesia Mining Association (IMA), MIND ID juga turut menyuarakan aspirasi para pelaku industri. Ia menilai kebijakan kenaikan tarif royalti akan memberikan dampak paling signifikan bagi perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Kami menyuarakan juga sebagai IMA member, sebagai anggota dari Asosiasi Pertambahan Indonesia, saya juga ingin menyampaikan aspirasi mewakili teman-teman anggota,” kata dia.
Menurut Ratih saat ini terdapat tantangan lain yang tengah dihadapi industri pertambangan dalam negeri. Salah satunya seperti implementasi B40 yang menambah beban operasional sehari-hari, dan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) yang dinilai sejatinya menguntungkan perusahaan karena harga HPM saat ini berada di atas harga pasar. Namun, ada perbedaan keberlakuan HPM, yang hanya diterapkan untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terintegrasi.
Ratih menyebut terdapat perusahaan dengan Izin Usaha Industri (IUI) dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan pemegang IUP terintegrasi, namun tidak tunduk pada kebijakan harga minimum mandatori HPM.
“Kita nggak mau nanti kita mau jualan dengan harga HPM minimum karena kita patuh dan tunduk pada peraturan, tetangga kita jualannya di bawah. Itu kan mau untung malah jadi buntung ini,” katanya.
Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai bahwa kebijakan tersebut menambah tekanan bagi industri pertambangan yang telah menghadapi berbagai tantangan sebelumnya.
“Awal Januari sudah ada isu, cuma mungkin pada saat itu kita dihadapi oleh kalau ibaratnya badai, ini badainya banyak banget ya,” kata Hendra.
Hendra lantas menjelaskan bahwa sejak awal tahun, industri pertambangan sudah dihadapkan pada sejumlah regulasi baru yang memberatkan. Selain wacana kenaikan royalti, terdapat kebijakan lain yang juga berdampak signifikan.
Mulai dari implementasi biodiesel B40, kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE), Peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, Global Minimum Tax dan lain sebagainya.
“Industri batubara juga terbebani dengan royalti tinggi, harga jual domestik batubaranya dari 2018, ini Pak kita dari dulu harganya dipatok, dan banyak isu lagi belum HBA, dan di industri mineral juga HMA, jadi isunya memang bertubi-tubi, kemudian muncul isu royalti yang akan menjadi istilah internal compensation, jadi kayak apa, udah pamungkasnya mungkin ya,” kata Hendra. {}