Berita Golkar – DPP Partai Golkar mulai mengkaji rencana perubahan sistem Pemilu dan Pilkada. Perubahan sistem politik ini belakangan menjadi perbincangan setelah diusulkan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dan Presiden Prabowo Subianto.
Muncul wacana Pilkada dikembalikan seperti era Orde Baru yakni dipilih melalui DPRD. Namun, Partai Golkar memastikan kajian mereka belum sampai kesimpulan mengubah dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
“Kalau Ketum tidak menyatakan, belum sampai pada kesimpulan proporsional tertutup, bahkan sebenarnya belum sampai pada kesimpulan untuk Pilkada kembali ke DPRD,” kata Sekjen Partai Golkar Sarmuji di DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (19/12/2024), dikutip dari Kumparan.
“Hanya Ketua Umum harus rasa-rasanya kita perlu formulasi baru untuk Pilkada. Dan opsinya itu gak tunggal, banyak opsinya,” tambah dia.
Dari berbagai macam opsi, memang dipilih melalui DPRD menjadi salah satu yang mencuat. Namun, bisa juga tetap pemilu langsung dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dengan penyempurnaan.
“Atau ada lagi opsi misalkan seperti Pemilu Kada di Amerika, bisa saja. Ada opsi bagaimana kalau pemilihan kepala daerahnya nempel saja dengan Pemilu lokalnya, Pemilu Legislatif lokalnya. Jadi nanti mungkin saja akan ada Pemilu lokal. Pemilu lokal itu memilih legislatif DPRD kabupaten, kota dan DPRD provinsi,” ucap Sarmuji.
Sarmuji menyebut, jika opsi ini diambil, nantinya masing-masing partai bisa mengusulkan calon jika nanti partai ini menang Pemilu. “Maka yang akan menjadi wakil partai dan wakil wakil partai adalah ini. Bisa saja begitu ya,” kata Sarmuji.
“Jadi opsinya banyak, jadi opsinya gak tunggal. Dan itu lagi dikaji dengan sangat dalam oleh partai Golkar. Apakah hanya pilkada? Enggak, kita mengkaji secara menyeluruh sistem politik kita,” tambah dia.
Sarmuji tak menampik pemilihan kepala daerah melalui DPRD memiliki banyak masalah. Begitu juga dengan sistem yang berjalan sekarang. Ia menekankan, Golkar ingin menjadi inisiator perbaikan sistem politik di Indonesia.
“Saya ingatkan ada pribahasa juga, ‘obat jangan sampai lebih berbahaya dari penyakitnya’ jadi kan kita mengidentifikasi ini penyakitnya macam-macam yang mahal, yang ini, itu, ini, itu. Banyak lah penyakitnya. Tetapi jangan sampai nanti kita kasih obat ternyata obatnya justru lebih berbahaya dari penyakitnya,” kata Sarmuji. {}