DPP  

Prabowo Subianto dan Seruan Perdamaian: Peace Now, Peace Immediately

Berita GolkarPada Senin, 22 September 2025, di Gedung Majelis Umum PBB, New York, Amerika Serikat (AS), Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara.

Pidato ini menandai kontinuitas kebijakan luar negeri Indonesia yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, sekaligus menghadirkan nuansa baru dalam pendekatan diplomatik Indonesia.

Substansi Pernyataan dan Konteks Diplomatik

Peace now, peace immediately!

Begitu seruan Prabowo soal perdamaian yang menjadi sebuah barang langka untuk dinikmati bersama di tengah ketegangan geopolitik yang memanas ini.

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mengakui Israel apabila Israel terlebih dahulu mengakui kedaulatan Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Pernyataan ini bukanlah hal baru dalam sejarah diplomasi Indonesia, namun penyampaiannya di forum internasional tingkat tinggi memberikan bobot politik yang signifikan.

Secara teknis diplomatik, pendekatan “conditional recognition” yang disampaikan Prabowo mencerminkan prinsip diplomasi dua arah dalam hukum internasional. Indonesia menerapkan prinsip bahwa pengakuan kedaulatan merupakan instrumen politik yang dapat digunakan untuk mendorong penyelesaian konflik berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan.

Presiden juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi kemanusiaan yang berlangsung di Gaza, dengan menyatakan bahwa “ribuan nyawa tak berdosa, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak, telah terbunuh. Kelaparan mengancam. Bencana kemanusiaan sedang terjadi di depan mata kita.”

Pernyataan ini menunjukkan dimensi humanitarian dalam pendekatan Indonesia terhadap konflik tersebut.

Analisis Kebijakan dan Implikasi Regional

Dari perspektif analisis kebijakan internasional, posisi Indonesia mencerminkan diplomasi seimbang yang telah menjadi karakteristik politik luar negeri Indonesia yang non blok.

Pendekatan diplomasi yang seimbang dan non blok ini memiliki beberapa dimensi strategis:

Pertama. Dimensi Multilateral. Konferensi yang dipimpin oleh Prancis dan Arab Saudi ini menunjukkan bahwa Indonesia memposisikan diri dalam kerangka multilateral yang melibatkan kekuatan Barat (Prancis) dan regional Timur Tengah (Arab Saudi).

Hal ini mencerminkan kemampuan Indonesia untuk berperan sebagai pembangun jembatan perdamaian dalam isu-isu global yang sensitif.

Kedua. Dimensi Hukum Internasional. Solusi dua negara yang didukung Indonesia sejalan dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 (1967) dan No. 338 (1973), serta berbagai resolusi Majelis Umum PBB. Pendekatan legal-formalistik ini memberikan legitimasi internasional pada posisi Indonesia.

Ketiga. Dimensi Peacekeeping. Prabowo menyatakan kesiapan Indonesia mengirim pasukan perdamaian di bawah mandat PBB, yang menunjukkan komitmen praktis Indonesia dalam implementasi solusi diplomatik.

Indonesia memiliki rekam jejak yang solid dalam misi perdamaian di PBB, dengan lebih dari 4.000 personel yang ditempatkan di berbagai misi internasional.

Respons Domestik dan Internasional

Pernyataan Prabowo menghadapi dinamika opini publik domestik yang kompleks. Survei-survei opini publik Indonesia menunjukkan dukungan yang tinggi terhadap Palestina, dengan tingkat penolakan yang signifikan terhadap normalisasi dengan Israel. Namun, pendekatan conditional recognition dapat dipandang sebagai strategi yang mengakomodasi sentimen publik sambil membuka ruang diplomatik.

Pidato Prabowo disambut tepuk tangan di forum PBB, yang mengindikasikan penerimaan positif dari komunitas internasional terhadap pendekatan Indonesia. Hal ini penting dalam konteks soft diplomacy Indonesia di tingkat global.

Posisi Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel memiliki akar historis yang dalam, mulai dari Soekarno di Konferensi Asia-Afrika 1955 hingga berbagai inisiatif diplomatik era Reformasi. Pendekatan yang disampaikan Prabowo menunjukkan evolusi, bukan revolusi, dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina tetap konsisten sejak era Sukarno hingga sekarang. Yang berubah adalah mekanisme diplomatik dan pendekatan taktis dalam mencapai tujuan strategis tersebut.

Kondisi geopolitik Timur Tengah yang berubah dan normalisasi beberapa negara Arab dengan Israel, menuntut Indonesia untuk mengadaptasi pendekatan diplomatiknya tanpa mengabaikan prinsip-prinsip fundamental.

Implikasi terhadap Diplomasi Regional ASEAN

Posisi Indonesia juga harus dilihat dalam konteks diplomasi ASEAN, di mana Indonesia berperan sebagai natural leader. Pendekatan seimbang Indonesia dapat menjadi model bagi negara-negara ASEAN lainnya dalam menghadapi isu-isu global yang sensitif dan terpolarisasi.

Dari segi teori penyelesaian konflik, pendekatan Indonesia mencerminkan aplikasi prinsip pendekatan konstruktif yang telah menjadi ciri khas diplomasi Indonesia. Hal ini konsisten dengan ASEAN Way yang menekankan prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri pihak lain (non-interference), membangun kesepakatan bersama (consensus building), dan pendekatan bertahap (gradual approach) dalam penyelesaian konflik.

Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan

Sebagaimana dinyatakan Prabowo, “tanggung jawab yang kita pikul bersama ini tidak hanya menentukan masa depan Palestina, tetapi juga masa depan Israel, dan kredibilitas dari Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan kompleksitas implementasi solusi dua negara.

Tantangan utama terletak pada mekanisme verifikasi dan implementasi. Bagaimana cara mengukur ‘pengakuan Israel terhadap Palestina’ secara konkret? Apakah cukup hanya dengan pengakuan diplomatik secara formal, ataukah harus disertai dengan penarikan pasukan dari wilayah yang diduduki serta pengakuan atas perbatasan?

Indonesia perlu mengembangkan cetak biru yang lebih detail mengenai pengakuan kondisional ini, termasuk tolok ukur yang jelas dan indikator yang terukur untuk implementasi kebijakan tersebut.

Pidato Prabowo di PBB mencerminkan sintesis antara realisme diplomatik dan idealisme politik yang telah menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Indonesia. Pendekatan conditional recognition menunjukkan pragmatisme dalam menghadapi realitas geopolitik, sambil tetap mempertahankan komitmen normatif terhadap prinsip-prinsip hukum internasional.

Keberhasilan pendekatan ini akan bergantung pada kemampuan Indonesia untuk memfasilitasi dialog konstruktif antara pihak-pihak yang berkonflik, membangun koalisi internasional yang solid, dan mengembangkan mekanisme implementasi yang kredibel.

Dalam konteks yang lebih luas, posisi Indonesia ini dapat menjadi kontribusi signifikan terhadap upaya global untuk menyelesaikan salah satu konflik paling berkepanjangan dalam sejarah modern, sekaligus memperkuat peran Indonesia sebagai poros tengah yang konstruktif dalam tata kelola global. {RakyatMerdeka}

Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si adalah Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional, serta Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan

Leave a Reply