Royalti Musik Rp. 150 Miliar, Umbu Rudi Kabunang Pertanyakan Transparansi dan Keadilan Mekanisme

Berita GolkarSiang itu, Kamis (14/8/2025), halaman Kompleks Parlemen Senayan riuh seperti panggung konser tanpa gitar, drum, atau sorak penonton. Yang terdengar hanya bisik-bisik para pelaku usaha: keluhan soal royalti musik yang kian mengganggu telinga.

Di tengah percakapan, Dr. Umbu Rudi Kabunang, anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi Partai Golkar dari Dapil NTT 2, melangkah mantap. Wajahnya serius, suaranya lantang.

“Kalau orang pesta nikahan dipungut royalti, ini mau apa-apaan? Bisa ribut di lapangan,” ucapnya, separuh nada kesal, separuh mengajak berpikir, dikutip dari SelatanIndonesia.

“Belum lagi hotel, apakah tamu benar-benar dengar musik di kamar? Buka TV saja kadang jarang.”

Secara hukum, aturan ini jelas tertulis. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengamanatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk mengatur pungutan royalti. Tapi di lapangan, kata Umbu Rudi, praktiknya sering pincang.

Banyak pengusaha kafe, hotel, atau restoran yang bingung membedakan LMKN dan LMK seperti WAMI atau PRISINDO. Tarifnya pun dianggap tak sebanding dengan skala usaha. “Mereka merasa ini hanya pungutan tambahan,” ujarnya.

Data LMKN tahun 2023 mencatat pendapatan royalti lebih dari Rp150 miliar. Angka besar yang justru memantik pertanyaan: ke mana uang itu mengalir? Mengapa musisi kecil mengaku royalti yang diterima tak sepadan dengan seringnya lagu mereka diputar?

Bagi Umbu Rudi, ini bukan sekadar perkara administrasi, tapi alarm yang mengancam rasa keadilan publik. Ia mendesak Kementerian Hukumyang membawahi LMK, membuat aturan teknis yang adil: melindungi hak pencipta lagu, tapi tak memukul pelaku usaha kecil.

“Saya setuju royalti dipungut demi hak pencipta, tapi ayo kita atur pelaksanaannya yang tepat dan berkeadilan,” tegasnya.

DPR kini tengah membahas revisi UU Hak Cipta. Targetnya: memperjelas mekanisme, memastikan transparansi, dan membuat klasifikasi usaha agar tarif royalti proporsional. “Kita perlu duduk bersama. Jangan sampai yang kita atur adalah harmoni musik, tapi yang muncul justru nada sumbang di masyarakat,” kata Umbu Rudi.

Ucapannya menggantung di udara, seperti refrain lagu yang menunggu harmoni. {}